Di tengah deru kereta dan hiruk pikuk penumpang, kebiasaan membaca buku perlahan menghilang. Akankah literasi tetap hidup di gerbong kita?
Di tengah padatnya aktivitas warga kota besar seperti Jabodetabek, kereta api menjadi solusi mobilitas andalan. Setiap hari, jutaan penumpang memadati commuter line, menjadikannya tak sekadar alat transportasi, tapi juga ruang transit harian yang menyimpan potensi besar untuk kegiatan produktif.
Namun kini, gerbang kereta yang dulu menjadi ruang sunyi penuh pembaca buku, perlahan berubah wajah. Berdasarkan pantauan tak resmi dan berbagai testimoni pengguna, hanya segelintir penumpang yang masih terlihat membaca buku fisik.
"Kebiasaan membaca buku yang dulu sangat populer di kereta, kini semakin terpinggirkan, seiring dengan meningkatnya ketergantungan pada perangkat digital."
Banyak penumpang sibuk dengan gawai; mengakses media sosial, menonton video, atau bermain game. Fenomena ini mencerminkan pergeseran gaya hidup yang turut memengaruhi kebiasaan literasi.Â
Data UNESCO mencatat bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, yakni 0,001; artinya dari setiap 1.000 orang, hanya 1 yang memiliki minat baca tinggi. Meski gawai menyediakan akses digital ke buku elektronik, nyatanya kebanyakan pengguna justru lebih banyak mengonsumsi konten ringan dan hiburan instan.
Kereta dan Kebiasaan Membaca: Sebuah Tradisi yang Tergeser
Pada era sebelum dominasi digital, membaca buku di kereta merupakan pemandangan umum. Penumpang duduk tenang, tenggelam dalam halaman buku sembari mengisi waktu tempuh yang tidak sebentar; bahkan bisa mencapai 1–2 jam sekali jalan. Aktivitas ini bukan hanya menyenangkan, tetapi juga memperkaya wawasan.
Kini, tradisi itu kian tergeser. Penumpang lebih memilih menyentuh layar ponsel daripada membuka lembaran buku. Kebiasaan membaca, yang dahulu menjadi bagian dari perjalanan komuter, perlahan memudar.Â
Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa membaca buku secara fisik dapat meningkatkan daya ingat, konsentrasi, serta empati pembaca jauh lebih kuat dibandingkan sekadar mengonsumsi konten digital.