Program Kampus Merdeka yang sempat menjadi andalan transformasi pendidikan tinggi di Indonesia kini tak lagi menjadi ujung tombak.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menggulirkan gebrakan baru: Kampus Berdampak.
Di tengah sorotan publik dan dunia akademik, perubahan ini memunculkan banyak tanda tanya. Apa yang sebenarnya berubah? Apakah ini hanya ganti istilah atau benar-benar transformasi yang menjanjikan kontribusi nyata bagi masyarakat?
Transformasi yang Mengundang Perhatian
Kemendiktisaintek resmi memperkenalkan konsep Kampus Berdampak sebagai lanjutan dari program Kampus Merdeka.
Jika sebelumnya mahasiswa diberikan kebebasan belajar di luar kelas, kini kebebasan tersebut diarahkan untuk memberikan kontribusi langsung dan terukur kepada masyarakat, industri, dan lingkungan.
Menurut Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiktisaintek, Khairul Munadi, “Kampus bukan sekadar tempat menimba ilmu, tapi pusat solusi. Ilmu yang diajarkan harus hidup dan berdampak nyata.”
Dengan pernyataan itu, pemerintah menekankan bahwa pendidikan tinggi tak boleh hanya memproduksi lulusan dan publikasi, tetapi juga harus berperan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan nyata bangsa.
Apa yang Berubah?
Kampus Merdeka memungkinkan mahasiswa untuk mengeksplorasi dunia nyata melalui magang, proyek independen, dan kegiatan di luar program studi.
Namun, Kampus Berdampak menuntut lebih: setiap aktivitas mahasiswa harus berdampak pada perbaikan nyata, baik dalam skala lokal maupun nasional.
Perbedaannya terletak pada orientasi hasil. Jika Kampus Merdeka fokus pada pengalaman belajar, maka Kampus Berdampak fokus pada kontribusi dan keberlanjutan dampaknya.
Kampus dituntut menjadi ruang kolaborasi antara akademisi, masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah.
Kampus Harus Turun Gunung
Dalam paradigma baru ini, kampus tidak bisa lagi sekadar jadi menara gading. Mereka harus terjun langsung ke lapangan, menjadi penggerak perubahan sosial dan ekonomi.
Mahasiswa dan dosen diharapkan bisa bekerja sama dalam menyelesaikan tantangan riil: mulai dari masalah pangan, energi, pendidikan di daerah tertinggal, hingga perubahan iklim.
Beberapa perguruan tinggi telah menyambut baik transformasi ini. Proyek desa binaan, pengembangan UMKM berbasis teknologi, hingga riset inovatif berbasis kebutuhan masyarakat mulai dilirik sebagai bentuk implementasi awal Kampus Berdampak.
Pro dan Kontra: Strategis atau Sekadar Rebranding?
Meski membawa semangat baru, tak sedikit pihak yang mempertanyakan apakah Kampus Berdampak ini hanya sebatas rebranding atau benar-benar akan diikuti kebijakan dan dukungan yang konkret.
Sebagian dosen menyambut baik karena sesuai dengan misi tridharma perguruan tinggi, namun sebagian lainnya khawatir ini hanya slogan yang belum ditopang sistem yang siap berubah.
Mahasiswa pun berharap perubahan ini tak memberatkan mereka secara administratif dan tetap memberikan ruang eksplorasi, bukan tekanan semata.
Menuju Pendidikan Tinggi yang Bermakna
Perubahan dari Kampus Merdeka menjadi Kampus Berdampak bukan sekadar ganti nama. Ini adalah ajakan untuk naik kelas; dari belajar untuk diri sendiri menjadi belajar untuk perubahan.
Gebrakan Kemendiktisaintek ini tentu patut diapresiasi, asalkan diiringi implementasi yang konkret, pendampingan yang kuat, serta sistem yang mendukung.
Jika dijalankan dengan komitmen bersama, Kampus Berdampak bisa menjadi tonggak penting dalam menghadirkan pendidikan tinggi yang relevan, responsif, dan benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI