Saat Belajar Sesuai Minat Membawa Semangat
Pernah suatu masa, saya duduk sebagai siswi di jurusan Bahasa. Saat sebagian besar teman berlomba masuk jurusan IPA atau IPS, saya justru menemukan rumah saya di lorong-lorong sastra, struktur kalimat, hingga nuansa budaya lintas negara. Di jurusan Bahasa, belajar bukanlah beban, tapi petualangan. Di sana, saya merasa benar-benar “hidup”.
Kini, ketika wacana mengembalikan sistem penjurusan ke dalam kurikulum SMA kembali bergulir, pertanyaan mendasar muncul: apakah penjurusan masih relevan dan efektif? Atau justru membatasi ruang gerak siswa yang belum sepenuhnya mengenal minat dan potensi dirinya?
Dari Masa ke Masa: Penjurusan dan Evolusi Kurikulum
Sistem penjurusan di SMA Indonesia telah lama berjalan, dengan tiga jalur utama: IPA, IPS, dan Bahasa. Tujuannya sederhana; menyaring minat dan bakat siswa agar mereka bisa fokus mendalami bidang tertentu.
Namun, seiring lahirnya Kurikulum Merdeka, sistem ini mengalami pergeseran. Penjurusan dihapus dan digantikan dengan sistem yang lebih fleksibel.
Siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minat. Sekilas terdengar ideal, tapi di lapangan, tak sedikit yang merasa bingung dan kehilangan arah.
Wacana menghidupkan kembali penjurusan pun mencuat, terutama dari kalangan pendidik yang melihat banyak siswa belum siap mengambil keputusan mandiri tentang pelajaran apa yang sebaiknya mereka tekuni.
Minat yang Terfasilitasi, Semangat yang Berkembang
Pengalaman pribadi saya menjadi bukti nyata bahwa belajar sesuai minat memiliki dampak jangka panjang. Dari jurusan Bahasa, saya mempelajari literatur, komunikasi lintas budaya, sekaligus bahasa asing secara lebih mendalam.