Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dilema Anak Rantau Menjelang Lebaran, Mudik atau Tetap di Perantauan?

27 Maret 2025   13:00 Diperbarui: 27 Maret 2025   12:07 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilema Anak Rantau, Mudik atau Tetap di Perantauan?

Langit senja mulai menggelap, aroma hari raya sudah kian terasa. Di sebuah kamar kos kecil, seorang anak rantau duduk di sudut ruangan, memandangi tiket yang masih ada di layar ponselnya. Jemarinya ragu untuk menekan tombol "beli."

Lebaran selalu identik dengan momen berkumpul bersama keluarga. Namun, bagi anak rantau, keputusan untuk mudik atau tetap di perantauan sering kali menjadi dilema tersendiri. 

Di satu sisi, ada kerinduan mendalam untuk pulang, bercengkerama dengan orang tua, mencium tangan mereka di pagi hari Idul Fitri. Ada keinginan untuk pulang, merasakan hangatnya pelukan ibu dan bercanda dengan saudara-saudara di kampung. 

Namun, di sisi lain, ada realitas yang harus dihadapi: tiket pesawat yang mahal, tabungan yang belum cukup, pekerjaan yang sulit ditinggalkan atau waktu libur yang tak lama yang tak memungkinkannya untuk bisa pulang.

Dilema ini bukan hanya dirasakan oleh satu atau dua orang, tetapi oleh banyak sekali anak rantau yang harus memutuskan: mudik atau bertahan di perantauan? Antara ingin melepas rindu atau harus bertahan demi tanggung jawab dan keadaan.

Kerinduan yang Tak Terbayarkan

Bagi banyak anak rantau, Lebaran tanpa keluarga terasa seperti ada yang hilang. Suasana rumah yang biasanya ramai, bau khas masakan ibu, dan momen takbiran yang penuh haru, semua itu terasa begitu jauh.

Mereka yang memilih tetap di perantauan sering kali hanya bisa menatap layar ponsel, menyaksikan video call keluarga yang tersenyum di balik layar. Ada kehangatan di sana, tetapi juga ada jarak yang tak bisa dijembatani hanya dengan kata-kata.

"Tiap tahun biasanya selalu pulang, tapi kali ini harus bertahan di perantauan. Bukan karena tak ingin, tapi karena ada tanggung jawab pekerjaan yang tak ditinggalkan," kata Adi, seorang sahabat lama yang bekerja di salah satu kota di Kalimantan tatkala di grup kami berbincang perihal reuni sekolah.

Biaya Mudik yang Tak Terjangkau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun