Adanya legitimasi dari beberapa pihak. Beberapa ormas atau kelompok tertentu menggunakan dalih “kearifan lokal” untuk meminta sumbangan. Padahal, jika dilakukan dengan unsur pemaksaan atau ancaman, ini sudah termasuk pemerasan.
Minimnya kesadaran korban untuk melawan. Banyak pengusaha memilih membayar daripada berurusan lebih lanjut, dengan anggapan “daripada ribut” atau “anggap saja sedekah”.
Ketimpangan ekonomi dan pengangguran. Premanisme tumbuh subur di tengah ketidakstabilan ekonomi. Ketika lapangan pekerjaan terbatas, jalan pintas seperti meminta “jatah” dianggap sebagai sumber penghasilan instan.
Bisakah Pemerintah Menghentikan Premanisme THR?
Pemerintah, baik daerah maupun pusat, harus bertindak lebih serius untuk menghentikan praktik ini. Berikut beberapa solusi yang dapat diimplementasikan:
1. Penegakan hukum yang tegas. Aparat harus bertindak proaktif, bukan hanya menunggu laporan. Jika ada kelompok yang meminta "jatah THR" dengan ancaman, harus segera ditindak dengan pasal pemerasan.
2. Transparansi dan pengawasan terhadap ormas. Pemerintah perlu mengawasi organisasi kemasyarakatan yang sering terlibat dalam penggalangan dana musiman. Jika terbukti ada unsur paksaan, izin organisasi bisa dicabut.
3. Digitalisasi pengaduan dan perlindungan korban. Harus ada sistem whistleblower online yang memungkinkan pengusaha melapor secara anonim. Ini mencegah mereka menjadi target intimidasi lanjutan.
4. Meningkatkan kesadaran masyarakat. Pengusaha dan masyarakat harus menyadari bahwa membayar bukanlah solusi jangka panjang. Jika terus dilakukan, premanisme akan semakin kuat dan sulit diberantas.
5. Menciptakan lapangan kerja alternatif. Pemerintah harus lebih agresif dalam menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat agar praktik premanisme tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan "wajar."
THR Seharusnya Hak, Bukan Upeti