Karakter yang baik tidak hanya tentang tidak berbuat buruk, tetapi juga tentang kemampuan merasakan (empati). Dan inilah yang paling banyak terkikis oleh interaksi berbasis layar.
1. Kehilangan Konteks Emosi
Saat berkomunikasi hanya melalui teks, kita kehilangan intonasi, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Generasi Z terbiasa berinteraksi tanpa perlu membaca sinyal emosional. Akibatnya, mereka sulit memahami kedalaman penderitaan atau kegembiraan orang lain. Mereka menjadi kurang peka dan cenderung menganggap masalah orang lain sebatas meme atau konten yang lewat.
2. Kesenjangan Dunia Nyata
Waktu yang seharusnya digunakan untuk bermain bersama, berdiskusi tatap muka, atau terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan nyata kini direbut oleh layar. Padahal, interaksi langsung adalah gymnasium terbaik untuk melatih toleransi, kerjasama, dan penyelesaian konflik secara dewasa. Karakter terbentuk bukan dari unggahan, tetapi dari gesekan dan interaksi di dunia nyata.
Bagian 3: Solusi yang Mendesak: Menanamkan "Kompas Moral" Digital
Kita tidak bisa memutus sambungan internet, tetapi kita bisa melengkapi mereka dengan kompas moral yang kuat.
1. Etika Digital sebagai Kurikulum Wajib
Sekolah dan keluarga harus menjadikan Etika Digital sebagai mata pelajaran utama. Ini bukan sekadar belajar cara pakai gawai, melainkan:
- Membahas Jejak Digital (Digital Footprint) dan konsekuensinya di masa depan.
- Mengajarkan Tanggung Jawab Konten, yaitu berhenti menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian.
- Mempraktikkan Sikap Kritis terhadap informasi di internet, bukan langsung menelan mentah-mentah.
2. Orang Tua dan Guru sebagai 'Duta' Karakter
Anak muda meniru apa yang mereka lihat. Guru dan orang tua harus menjadi model etika digital yang baik. Tidak ada gunanya mengajarkan kejujuran jika orang tua sendiri menyebar hoaks di grup chat atau guru lalai dalam etika online. Kuncinya adalah pendampingan aktif dan diskusi terbuka tentang dilema moral yang mereka hadapi di media sosial.