Marpuah galau, kelihatan dari banyaknya cemilan manis yang tersedia di hadapan. Ada cake black forest, cokelat toblerone, wafer, sampai permen kaki, asyik dia kunyah.
 Sambil sibuk olahraga mulut dia curhat sama sahabatnya, Marleni. Kebetulan Marleni itu tetangga sebelah----di kosan ibu Agus---sedang main ke kamar si Puah.
Duo sahabat ini memang terkenal heboh, rame dan absurd. Kalau udah ngumpul berdua, suara mereka sahut-sahutan mirip lomba kicau burung.
"Len, gue bingung sama Salbiyo. Maksud dia apa ya?" katanya sambil mencolek lelehan cokelat black forest dengan jari telunjuk kemudian mengemutnya.Â
"Maksud dia yang mana, maksud lu?" tanya Marleni tak kalah absurd.
"Ini loh, coba deh lu baca chat si Sal," katanya sambil menunjukkan ponsel berisi percakapan antara Salbiyo dan Marpuah.Â
[Nanti aku jemput jam tujuh. Gak usah dandan menor ya, biasa aja, aku malah makin cinta. Oke, Honey] disertai emotikon lebah dan love.
"Tuh, Len. Apa coba maksudnya manggil gue honey? Trus pake emo tawon? Apa gue ini hanya dianggap 'madu' baginya? Dia punya selingkuhan? Atau suara gue selama ini dianggap berisik kayak tawon?" cerocos Marpuah bak petasan di nikahan orang Betawi.
Marleni yang ikut membaca isi chat Salbiyo jadi senyum-senyum dan akhirnya tertawa. Kelakuan sahabatnya ini dari dulu memang gak pinter-pinter. Selalu aja merepet, marah-marah duluan. Apalagi kalau lagi cemburu berat sama Salbiyo, byuuh ....
Sebagai sahabat yang baik dan sedikit lebih cerdas daripada Marpuah, ia lalu menasihati. Ponsel yang sedari tadi masih digenggam, ia sodorkan pada Puah.
"Eh, Puah, gini lho, maksud Salbiyo ini kan manggil elu pake panggilan kesayangan. Doi manggil elu 'honey' artinya sayang. Bukan sebutan madu untuk yang kedua, gitu," jelas Marleni sambil menunjukan chat Salbiyo.