Mohon tunggu...
Nuha FathinnabilaAditia
Nuha FathinnabilaAditia Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya suka menulis dan membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Resume Jurnal Karya Drs. Study Rizal LK.,M.Ag "Premanisme: Ketika Kekuasaan Tanpa Etika Menjadi Gaya Hidup"

21 Juni 2025   23:35 Diperbarui: 21 Juni 2025   22:58 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Premanisme bukan sekadar soal sosok bertato, kumis tebal, atau suara bariton yang mengintimidasi. Lebih dari itu, premanisme adalah sebuah mentalitas: cara berpikir dan bertindak yang lahir dari kultur kekuasaan yang sama sekali tanpa etika. Mentalitas ini tidak terbatas pada jalanan atau pasar. Justru, ia telah menyusup ke ruang yang tak terduga kantor pemerintahan, kampus, mimbar agama, bahkan ruang digital dimana orang berpakaian rapi dan bertutur lembut, namun beroperasi dengan cara intimidatif dan represif ([retizen.republika.co.id][1]).

Premanisme tumbuh subur saat hukum kehilangan wibawa dan negara absen dari upaya penegakan keadilan. Dalam keadaan seperti itu, premanisme tampil sebagai "model kekuasaan alternatif": ia menegakkan kendali melalui ancaman, bukan legitimasi, dan mendesak rakyat hidup dalam ketakutan. Kita mengenal preman pasar dan jalanan, tetapi yang lebih berbahaya adalah preman politik, birokrasi, dan digital: orang-orang terpanggil kuasa, bukan service, dan menerapkan intimidasi sebagai bahasa mereka ([retizen.republika.co.id][1]).

Mereka ini bukan predator nyata, tapi sistem yang abai karena premanisme tetap bisa muncul dan hidup justru karena diberi ruang oleh sistem politik, ekonomi, dan hukum yang korup. Yang lebih ironis, preman ini sering dijadikan alat elit: dipelihara, dipakai, dan dibiarkan selama masih berguna ([retizen.republika.co.id][1]).

Menurut "Mazhab Ciputat"---kelompok penggiat intelektual yang dikutip artikel, Premanisme bukan masalah jalanan saja, melainkan kegagalan budaya politik. Saat hukum tunduk pada kekerasan, negara berpihak pada pelaku, dan ruang publik dikendalikan oleh ancaman, artinya kita tengah hidup dalam 'peradaban yang cacat'. ([retizen.republika.co.id][1]).

Solusinya tak bisa hanya kekerasan atau penindakan fisik, karena yang dibutuhkan adalah keberanian moral, solidaritas sosial, serta keberpihakan nyata pada rakyat kecil. Melawan premanisme harus dijadikan pekerjaan intelektual yang terus-menerus: membongkar kekuasaan gelap, membangun narasi tandingan, dan menggerakkan keberanian kolektif. Sebab, negeri ini terlalu berharga untuk terus dikendalikan oleh budaya preman ([retizen.republika.co.id][1]).

Dikutip dari artikel "Premanisme: Ketika Kekuasaan Tanpa Etika Menjadi Gaya Hidup" oleh Drs. Study Rizal LK.,M.Ag di Retizen (Republika).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun