Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jika Surga di Langit Tinggi Mengapa Manusia Dikubur ke Bumi?

23 Mei 2021   15:55 Diperbarui: 23 Mei 2021   16:06 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Sunarsih dan putri beliau  pengelola Homeschooling, Tampilan zoom (dokpri)

Menjawab pertanyaan anak tentang alam gaib itu bisa membingungkan lawan dan kawan. Bukan berarti jika pertanyaan anak lantas mudah, mungkin malah sangat sulit atau bahkan tidak bisa dijawab. 

Seperti pengalaman Bu Sunarsih, pamong guru purna yang sekarang mengelola homeschooling. Pembelajaran yang cenderung privat, ada interaksi mendalam antara guru homeschooling dan murid-muridnya. 

Dan sering ada dialog yang menarik yang menandakan kecerdasan anak-anak sekarang memang tumbuh banyak seiring dengan kualitas hidup masyarakat.

Berikut 3 hal yang mengemuka dari pertanyaan anak;

(1) Sembilan dibagi 3 adalah 2 ditambah 2 dan ditambah 5

Ada soal cerita yang ditujukan untuk menguji daya nalar pembagian anak. Yakni tentang angka 9 yang dibagi 3. 

Ilustrasinya adalah ada 9 permen yang akan dibagi ke 3 anak yakni Dian, Tika, dan Mas Anton. Kebetulan yang ditanya adalah Mas Anton. Maka dia menjawab; Jika ada permen 9 dibagi untuk 3 anak, maka 2 untuk mbak dian, 2 untuk mbak tika, dan 5 untuk mas Anton.

Guru kaget dan bertanya, mengapa bagianmu paling besar bukankah pembagian yang adil adalah yang merata?

Sang anak menjawab dengan lugas karena saya laki-laki harus dapat bagian paling besar.

Guru tercenung. Apa yang salah dengan soalnya, atau ada yang keliru dalam instruksi soalnya. Sebab jika "bagilah dengan angka yang sama", maka akan ketemu angka 3. Namun jika instruksinya adalah "bagilah untuk 3 anak", maka jawaban bisa variatif, 2+2+5, atau 2+3+4. 

Tergantung anak yang mana yang disuruh menjawab.

Dalam konteks psikometri, maka pembuatan soal dalam matematika atau mata pelajaran lain, memang terletak dan tergantung "instruksi pertanyaan", yang mana pembuat soal memang perlu mengerti metodologi membuat soal. 

Namun dalam homescholing, tetap ada menariknya dalam konteks ini, bahwa pembagian angka di mata anak, bisa jadi memang dipersepsikan berbeda, bukan sekedar "bagi dengan angka sama."

(2) Mengapa jenazah dikubur ke tanah bukankah surga di langit?

Anak seusia 7 tahun dapat melontarkan pertanyaan ini tanpa ia sadari bahwa itu adalah pertanyaan berat bagi orang dewasa. Ketika dijelaskan konsepsi surga, neraka, dan bumi, dengan nalar yang belum sesuai, maka akan timbul banyak corak pertanyaan yang mengagetkan.

Orang dewasa dapat menjawab dengan cara instan, "Ntar kalau kamu dewasa, akan ketemu jawabannya sendiri".

Namun bagi guru homeschooling, perlu daya nalar dan imajinasi untuk memberikan jawaban seketika sehingga setidaknya anak tidak bertanya lagi.

"Ya karena yang dikubur adalah jasadnya, sedangkan yang masuk surga adalah ruhnya."

Lantas anak dapat bertanya, apakah ruh itu? Kenapa tidak bisa dilihat?

Orang dewasa dapat menjawab, sesuatu yang ada belum tentu dapat dilihat, seperti udara yang ada tapi tidak terlihat, seperti hari atau minggu yang tidak terlacak oleh mata dan telinga.

Apakah ruh sama dengan udara dan hari?

Waduhhhh................... anak cerdas........... sudah makan dulu nanti Ibu jawab....kira-kira begitu akan sedikit meredakan penasaran anak. 

(3) Mengapa Tuhan dekat tapi tidak terlihat?

Wah, ini semakin merepotkan. Tidak hanya bagi guru homeschooling, namun juga guru formal yang mengajar anak-anak tentang "konsep" Tuhan, agama, dan lain sebagainya.

Saya masih ingat ada guru TK Islam yang ditanya demikian, Lantas ia berkata, "Nah, coba lihat ini", sambil menunjukkan tutup gelas. 

Maka anak menjawab bahwa itu adalah tutup gelas. Lantas didekatkan sampai menempel di mata si anak. Lantas anak ditanya, apa yang kaulihat?

Gelap. Tutup gelas tidak terlihat.

Nah, demikian Nak.... tutup gelas itu dekat tapi saking dekatnya maka malahan tidak terlihat. Seperti Tuhan, begitu dekatnya sampai kita juga tidak bisa melihatNya.

Anak gantian yang tercenung. Dan kembali bermain-main, lupa pada pertanyaannya. 

Begitulah sebagian kisah dari Bu Sunarsih yang bercerita tentang dinamika homeschooling dan menghadapi anak-anak yang cerdas dengan banyak pertanyaan kreatif. Zoom meeting yang tadinya hanya akan diisi dengan reunian, kangen-kangenan virtual, justru ada diskusi yang serius mengenai homeschooling dan kondisi anak-anak zaman sekarang. 

Diskusi semarak (dokpri) 
Diskusi semarak (dokpri) 

Sejatinya di sini peran ahli psikologi untuk menggencarkan konsepsi Teori Kognitif Piaget untuk mengetahui perkembangan kognitif anak. 

Teori Piaget berfokus pada anak-anak, mulai dari lahir hingga remaja, dan menjelaskan berbagai tahap perkembangan, termasuk bahasa, moral, memori, dan pemikiran. Tahapannya dangat detail dijelaskan sehigga dapat digunakan untuk memahami pola pikir anak berdasarkan usianya. 

1.Tahap Sensorimotor (Usia 18 - 24 bulan)

Tahap sensorimotor merupakan yang pertama dari empat tahap dalam teori perkembangan kognitif Piaget. 

Teori ini meluas sejak lahir hingga sekitar 2 tahun, dan merupakan periode pertumbuhan kognitif yang cepat. Selama periode ini, bayi mengembangkan pemahaman tentang dunia melalui koordinasi pengalaman sensorik (melihat, mendengar) dengan tindakan motorik (menggapai, menyentuh).  Maka anak yang cerdas justru yang banyak gerak untuk menguji motoriknya.

2.Tahap Praoperasional (Usia 2 - 7 Tahun)

Tahap praoperasional merupakan tahap kedua dalam teori Piaget. Tahap ini dimulai sekitar 2 tahun dan berlangsung hingga kira-kira 7 tahun. 

Pemikiran anak selama tahap ini adalah sebelum operasi kognitif. Artinya, anak tidak bisa menggunakan logika atau mengubah, menggabungkan, atau memisahkan ide atau pikiran, namun sejatinya belum paham terhadap substansi pertanyaan. Dan hanya merangkai rangkai serta berhenti bertanya ketika ada jawaban meskipun belum memuaskan baginya. 

3.Tahap Operasional Konkret (Usia 7 - 11 Tahun)

Tahap operasional konkret merupakan tahap ketiga dalam teori Piaget. Periode berlangsung sekitar usia 7 hingga 11 tahun, dan ditandai dengan perkembangan pemikiran yang terorganisir dan rasional. 

Piaget menganggap tahap konkret sebagai titik balik utama dalam perkembangan kognitif anak, karena menandai awal pemikiran logis. 

Pada tahapan ini, Si Kecil cukup mamu  untuk menggunakan pemikiran, merangkai kata dan daya nalar,  atau pemikiran logis, tapi hanya bisa menerapkan logika pada objek fisik. 

Anak mulai menunjukkan kemampuan konservasi (jumlah, luas, volume, orientasi). Meskipun anak bisa memecahkan masalah dengan cara logis, mereka belum bisa berpikir secara abstrak atau hipotesis. Makanya timbul angka 9 yang dibagi 3 anak, diterjemahkan sebagai pembagian fisik permen, bukan "dibagi rata" untuk 3 orang.

4.Tahap Operasional Formal (Usia 12 tahun ke atas)

Tahap operasional formal dimulai sekitar usia 12 tahun dan berlangsung hingga dewasa. Hal ini menunjukkan adanya daya nalar kecerdasan yang tumbuh kembang hingga jika asupan bacaan dan literasi banyak, maka anak akan semakin cerdas dan berwawasan. 

Saat remaja memasuki tahap ini, mereka memperoleh kemampuan untuk berpikir secara abstrak dengan memanipulasi ide di kepalanya, tanpa ketergantungan pada manipulasi konkret. Artinya ia mampu melakukan elaborasi, imajinasi, dan berkreasi atas bahan yang ia peroleh. 

Seorang remaja bisa melakukan perhitungan matematis, berpikir kreatif, menggunakan penalaran abstrak, dan membayangkan hasil dari tindakan tertentu. 


Lantas bagaimana sebaiknya? 

Ya homeschooling tetap baik dengan tambahan adanya peningkatan ilmu psikologi bagi para pamong guru yang terlibat. Beberapa psikolog malahan ada yang mengkritik bahwa di homeschooling anak kurang dididik untuk kecewa, manajemen marah, stress, dan tekanan sosial, hal yang ia dapatkan ketika ia berada di lingkungan sekolah formal.

Maka Bu Sunarsih juga sepakat bahwa homeschooling pada tahapan tertentu tetap memerlukan sekolah formal sebagai media sosialisasi berkelanjutan, meskipun kehidupn modern pada akhirnya ketemu lagi format pembelajaran digital dan virtual, situasi yang mirip dengan homeschooling juga. (23.05.2021/Endepe) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun