Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pajak Pulsa

30 Januari 2021   05:42 Diperbarui: 1 Februari 2021   05:30 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Digitalisasi pembayaran dan pembelian, harusnya mempermudah wajib pajak untuk pelaporan (Foto: trenasia.com)

Sebagian orang sangat mengerti apa yang terjadi. Negara memerlukan pemasukan yang lebih besar untuk membiayai pembangunan. Setelah diluncurkan wakaf tunai alias wakaf uang untuk negara, maka pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga akan melakukan aktivitas dan kebijakan yang mengherankan bagi awam, namun wajar saja dari sisi kaum profesional, yakni memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucer, kartu perdana dan token listrik, mulai 1 Februari 2021.

Kaum profesional tidak akan heran, karena sangat yakin bahwa semua telah melewati proses studi kelayakan, hitung-hitungan dan setidaknya ada naskah akademik sebagai pendukung dokumen sebelum kebijakan diluncurkan. Namun bagi awam, ini mengherankan karena komentar yang muncul spontan adalah "Lohhh... berarti selama ini tidak dipajaki toh....? Lha kok isaaaaa.....".

Pajak pulsa, mengherankan, meski ya mau tidak mau kita akhirnya maklum, tidak ada pilihan. 

Begitulah wong cilik merespon kebijakan pemerintah. Positif thinking  dari the grass roots adalah semua sudah berjalan baik-baik saja. Sama halnya ketika makan di restoran, dan ada tulisan bahwa "Restaurant ini memungut pajak 10% dari makanan Saudara, sebagai bentuk kontribusi atas PERDA yang mewajibkan pajak daerah dari hotel, restauran, dan layanan permakanan", maka ya tinggal bayar saja. Meskipun bill atau tagihan hanya ditulis manual oleh pemilik restaurant , dan apakah dibayarkan semua yang 10% tersebut ke kas daerah, ataukah diothakathik lagi, wong cilik tidak tahu. Ya semoga dibayarkan langsung yang 10% tersebut, sehingga tidak membuat dosa bagi pemilik restaurant, yang juga bisa mengherankan bagi wong cilik ketika sebuah restaurant yang rame pengunjung, lha kok tiba-tiba tutup dan bankrut.

Jebulannya kena audit pajak dan kena penalty. Lha rak malah modyarr toh kuwi... makanya taatlah membayar pajak...

Kembali ke policy terbaru dari pemerintah, keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan/penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer.

Alasan resmi yang dirilis adalah bahwa kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucer perlu mendapat kepastian hukum, demikian bunyi PMK Nomor 6/PMK.03/2021 itu seperti dikutip di Jakarta, Jumat, 29 Januari 2021. Fresh from the oven, bahwa kebijakan ini masih dari dapur ngepul Kementerian Keuangan. 

Segmen Pajak Masih Banyak 

Sebenarnya, banyak awam (baca: masyarakat luas) yang sangat rela hati untuk membayar pajak. Namun terkadang situasi membuat repot, ketika rajin membuat laporan pajak, malah dikejar-kejar petugas ketika "selisih pajak, kurang bayar, lebih bayar, akumulasi tidak sesuai", dan lain sebagainya.

Apalagi jika terlambat membuat laporan. Ini menjengkelkan. Sebab, saya sendiri mencoba membandingkan dengan pembayaran pajak di penjuru negara di Eropa, pajak tersebut otomatis tercatat di nomor pokok wajib pajak kita (NPWP). Sedangkan di negeri kita, wajib pajak membuat self asesmen, melaporkan ulang baik secara fisik maupun e-filing di www.djponline.pajak.go.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun