Saya membaca di Kompasiana perihal seorang rekan yang baru 1 semester s3 lantas berhenti karena biaya tidak memadai.
Beberapa hal bisa disampaikan di sini analogi analogi dan story perihal studi s3;
1. Seperti membangun rumah
Ibarat membangun rumah, bisa berhenti karena kehabisan dana. Baru selesei fondasi, harus dilanjutkan nanti. Atap belum selesei. Dilanjutkan tahun depan. Rumah pun ada type 36, selesei. Type 70, tidak selesei. Type 180, bagus, cepat, tuntas, selesei. Type 180, mangkrak.
Persis seperti membangun rumah. Ada perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, memperhatikan cuaca, dan sebagainya. Belum lagi kalau fondasi sudah jadi, proposal sudah jadi, namun harus dibongkar karena tidak sesuai dengan proses bimbingan.
Jika ketemu doktor lulus namun tidak kelihatan pinter, mungkin dia type rumah RSSSSS.
Jika ketemu doktor lulus dan kelihatan pinter menginspirasi, berarti type eral estate mebel bagus semua bagus mahal.
Jika ketemu calon doktor ning gak lulus, berrati rumahnya gak jadi.
Jika ketemu doktor kaya pinter publikasi terindeks scopus sinta dan bagus semua, berarti itu agak jarang ketemunya. Hehehe...
2. Diperlukan nafas panjang pelari maraton
Pelari maraton perlu nafas panjang. Bukan pelari sprint 100 meteran. Risiko nafas panjang, masa studi yang bagus adalah 3 - 4 tahun. Namun ada juga yang 7 tahun. Atau, cuti akademik sehingga baru selesei 8 tahun. Namun finish harus dituntaskan. Siapa juga yang mengharuskan? Ya kita sendiri. Siapa yang ingin susah nafas tersengal ? Ya kita juga.
3. Tidak dibutuhkan kecerdasan
Yang sudah masuk program s3 ya harusnya gak perlu berdebat masalah kecerdasan. Sudah dianggap cerdas. Hawong sudah lulus seleksi s3. Namun yang dibutuhkan adalah ketekunan, manut bimbingan, selalu rajin ke kampus, pustaka, bongkar jurnal, menulis, mengoreksi, menulis, menulis, menulis, dan seterusnya.
Tidak selalu doktor itu pinter. Namun seorang odktor pasti lulus ujian disertasi. Yang cerdas belum tentu lulus, hawong cerdas ning malas, gaks elesei juga. Syukur syukur cerdas dan rajin. Rajin lebih baik.
4. Kerjakan jangan pikirkan
Pusing dah mikirin disertasi, demikian keluh mahasiswa. Bah, disertasi gak usah dipikirkan. Kerjakan. Tulis, Koreksi. Edit. Penuhi dengan literatur yang baik. Reputasi bagus. Kirim hasil ke jurnal terindeks SCopus, SInta Dikti, dan sebagainya. Kerjakan. Kalau cuma mikir, gimana ngontrolnya. Nasehat ini buat saya sendiri ..hehehe..
5. Takdir
Jika sudah dikerjakan, rajin, cerdas juga, namun gagal, ya sudah itu takdir. Jika bodoh namun rajin dan lulus, ya sudah itu juga takdir. Jika rajin cerdas tekun tuntas cepat tepat waktu cum laude dan disenangi dosen promotor dan semua teman, ya takdirmu juga.
Di balik semua, saya senang dengan nasehat Ibu Dr. Sirikit Syah, jurnalis esais dosen dan penulis buku dari STikosa SUrabaya: Disertasi yang baik adalah disertasi yang selesei (lulus).
Wes gitu dulu saia juga mumet.