Lelaki itu empat bersaudara. Ia adalah anak bungsu. Empat bersaudara itu lelaki semua.
Pada masa kecil, Â kondisi ekonomi keluarganya tak begitu baik. Ayahnya hanya seorang guru SD negeri yang waktu itu gajinya sangat kecil. Tak ada tunjangan sertifikasi seperti sekarang ini.
Lauk untuk makan mereka yang paling mewah adalah telur ayam. Itupun harus dibagi empat. HIngga mereka sering bergurau bahwa pantat ayam tempat keluarnya telur itu mungkin ada siletnya sehingga telur itu bisa terbagi empat.
Meski berusaha dibagi empat secara adil, tapi tetap saja di antara mereka berempat sering melihat bahwa telur itu tak terbagi secara sama. Ada rasa iri ketika secara tak sengaja ada dari mereka berempat yang menerima bagian telur yang lebih besar.
Melihat gelagat itu ibu mereka berkata bahwa sudahlah diterima bagian masing-amasing dengan rela. Tak usahlah iri satu sama lain. Rejeki, termasuk bagian telur itu, sudah diatur oleh Tuhan.
Maka beranjaklah keempat saudara itu menjadi dewasa dan masing-masing ebkerja. Yang sulung jadi perwira tentara. Yang kedua jadi pengusaha. Yang ketiga jadi Pegawai tinggi di sebuah kementrian
Sementara sang lelaki itu -- bungsu dari empat bersaudara- menjadi guru SD honorer di sebuah desa kecil. Banyak orang terheran-heran. Tapi lelaki itu tetap mantap menjalani hidupnya. Ia teringat nasehat ibunya dan telur yang dibagi emat itu. Ia ingat ibunya berkata bahwa rejeki sudah diatur Tuhan. Lagipula, bukankah mulia tidaknya seseorang tidak diukur dari kedudukan, jabatan, dan hartanya tetapi oleh manfaat perbuatannya bagi sesama? Bukankah menjadi guru honorer SD di desa berguna untuk mencerdaskan anak bangsa?