Integratif
Selanjutnya secara teoritis, Prof Amin memaparkan empat tingkatan integratif dari aspek keilmuan, yakni intradisiplin, multidisiplin, interdisiplin, transdisiplin. “Banyak buku yang bisa teman-teman baca untuk memahaminya lebih lanjut,” ujarnya.
“Pertanyaan kritisnya ialah apa yang hendak diintegrasikan dalam Kurikulum 2013? Kenapa tak dibuka secara transparan kepada publik naskah akademiknya? Dalam pengamatan saya dan berdasarkan pengalaman saya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Diknas sekarang baru berada pada level 1 dan 2, tapi belum masuk ke tahap 3-4,” imbuhnya lagi.
Selain itu menurut Prof. Amin, saat ini masih ada dikotomi mata pelajaran/kuliah. “Dosen/guru hanya ahli di satu bidang tertentu. Tapi ia tidak aware pada bidang lainnya. Itu bisa menjadi tema seri diskusi pemikiran pendidikan selanjutnya,” ujarnya.
“Intinya, para dosen dan juga harus disentuh. Lha sekarang mereka sama sekali belum di-training. Itu bisa menjadi problem besar dalam penerapan Kurikulum 2013. Bahkan kalau pun kelak ada pelatihan, tapi pola pelatihannya masih menggunakan paradigma lama hasilnya niscaya lebih parah lagi,” katanya mengingatkan.
Kotak-kotak pemisah antara aspek kehidupan dan mata pelajaran/kuliah tersebut sebenarnya sudah hendak dijebol oleh Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Lalu, Prof. Amin mengutip tesis Umar Kayam, “Kita ini mendidik mahasiswa/siswa dalam kotak-kotak ilmu yang saling terpisah.”
“Bisa jadi hubungan sosial mengalami kebuntuan – misalnya relasi anak dan orang tua, relasi guru dan murid, dst - karena model pembelajaran yang terkotak-kotak semacam itu. Jadi memang perlu kita perbaiki bersama, supaya bisa keluar dari pemisahan kotak-kotak ilmu tersebut. Tapi kenapa begitu tergesa-gesa Diknas-nya? Debat publiknya masih kurang memuaskan dan belum tuntas,” pungkasnya.
Tamasya Peradaban
Narasumber kedua Pak Hardono mengajak peserta diskusi bertamasya ke sejarah peradaban umat manusia. “Pada zaman Yunani kuno yang mendominasi ialah cara berpikir mitologi. Alhasil, siapa saja yang menentang mitos pasti disingkirkan oleh penguasa,” paparnya.
“Lalu, lahirlah generasi Socrates, Plato, dll. Mereka itu rasional sekali. Oleh sebab itu, hidup yang tak direfleksikan tak layak dijalani. Mereka juga bertanya terus, sedangkan yang menjawab ialah pihak-pihak lain. Itulah cikal-bakal ilmu filsafat,“ imbuhnya lagi.
Menurut Pak Hardono, proses dialektika itu terus berlanjut sampai pada satu titik yang tak tertanyakan lagi, yakni hakikat segala sesuatu. Tapi cara berpikir seperti ini membuat mereka meremehkan mitologi. Kenapa? Karena mitologi itu tidak rasional sehingga tak pantas dijadikan pegangan. Akhirnya, Socrates dibunuh karena mengajari orang muda berpikir kritis.