Mohon tunggu...
D. Nugroho Kusuma
D. Nugroho Kusuma Mohon Tunggu... -

Selalulah berbagi dengan sesamamu, termasuk ide dan pikiran-pikiranmu, dan ketika akhirnya kamu menemukan banyak perbedaan dalam cara berfikir dan ide, maka bersyukurlah karena itulah dunia, sangat beragam, terajut indah oleh warna-warni yang saling melengkapi dalam harmoni sebagai sesama, peace........

Selanjutnya

Tutup

Politik

Awalnya 27 Juli 1996, Kemudian 14 Mei 1998

13 Mei 2010   05:19 Diperbarui: 8 Mei 2018   12:32 1449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996. Sebelumnya, kantor PDI diduduki massa pendukung Megawati. (Kompas/Eddy Hasby)

***

Kembali saya terbenam dalam rutinitas mengais ngais rezeki yg dari hari ke hari semakin terasa menghimpit oleh harga-harga yg kian mencekik leher, & tanpa saya sadar api yg tersulut pada bulan Juli 1996 mulai menimbulkan letupan-letupan kecil hingga makin lama makin membesar. Pada Selasa 12 Mei 1998 kurang dari dua tahun setelah peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996, terjadi demontrasi mahasiswa Trisakti yg diakhiri dengan penembakan mahasiswa oleh aparat militer. Namun demikian rutinitas sebagai pekerja kantoran yg monoton sungguh menulikan & membutakan saya terhadap perkembangan situasi di luar.

Hari Kamis 14 Mei 1998 saya ngantor seperti biasa, kebetulan hari itu saya mendapatkan penugasan ke salah satu Pool Bus yg berlokasi di dekat Pintu III Kelapa gading. Tidak ada yg aneh saat saya berangkat, selain jalanan terasa lebih sepi & agak susah menemukan kendaraan umum. Sesampai di Pool, saya kembali tenggelam ke rutinitas kerja hingga saya mulai melihat pihak penanggung jawab Pool menarik kembali armadanya satu persatu dari jalanan. 

Nampaknya ada sesuatu yg terjadi, saya dengar mulai terlihat gerakan massa di wilayah priok & sekitarnya, & memang benar kaki langit dari arah priok terlihat asap hitam yg membumbung, saat itu yg terpikir oleh saya tak lebih dari demonstrasi mahasiswa biasa.

Persis pukul 13.00 WIB saya bergegas balik ke kantor pusat, & untuk mencapainya saya harus ke terminal Pulo Gadung terlebih dahulu. Dari Pintu III Kelapa Gading saya menggunakan Angkot jurusan IGI Pulo Gadung sebelum disambung dengan kendaraan umum lainnya. Ketika saya menaiki Angkot, sudah mulai nampak pemandangan yg janggal, seluruh penumpang Angkot terlihat sedang meminum minuman kaleng yg sama persis. 

Saya cukup terheran-heran koq bisa ya orang nggak saling kenal bareng-bareng minum minuman yg sama persis di dalam Angkot, apa tadi ada promo minuman kaleng yg membagi-bagikan minuman gratis di jalan.

Sesampai di IGI Pulo Gadung, kejanggalan semakin saya rasakan, karena yg biasanya mudah untuk menemukan kendaraan umum ke arah terminal, hari itu tak ada satupun yg nongol. Sampai pada detik itu, saya masih belum “ngeh” juga kalau ada sesuatu yg luar biasa sedang terjadi, tetapi segalanya mulai menjadi “terang” ketika saya tiba di Pulo Gadung, pemandangan super janggal terbentang di depan mata, Pulo Gadung yg biasanya padat kendaraan & manusia, hari itu bener-bener kosong melompong layaknya terminal mati, “sepi mamring”. 

Saya mulai bertanya-tanya di dalam hati apa yg sedang terjadi, dengan rasa penasaran saya berjalan ke arah jalan Pemuda, & yg nampak oleh saya selanjutnya adalah pemandangan yg “nggerigisi”, sepanjang jalan Pemuda penuh dengan massa yg tumpah ruah & beringas, seperti air bah dari bendungan yg jebol seluruh orang terlihat liar & berlarian gak tentu arah, merusak, berteriak-teriak, membakar & menjarah, sampai-sampai tanaman & pot-pot bunga dipinggir jalan juga dijarah & dicabuti.

Gusti..Gusti.., koq saya bisa terjebak lagi ditengah kerusuhan ya, nasib nasib. Melihat keadaan yg demikian, saya memutuskan pulang ke rumah kost di Mampang Prapatan hanya masalahnya bagaimana saya dapat mencapainya, sedangkan kendaraan umum praktis udah lenyap dari jalanan, naik Ojek?

Bisa saja hanya masalahnya uang di dompet saya ternyata tinggal Rp. 15.000,- mana cukup untuk naik ojek, ambil uang di ATM? Itu lebih masalah lagi, mesin ATM yg saya lihat ada di sebelah Arion Plaza, nampaknya sudah mulai digedor-gedor dengan linggis oleh beberapa orang, jadi kayaknya mustahil deh. Akhirnya mau nggak mau saya putuskan untuk pulang dengan berjalan kaki.

Perjalanan saya lanjutkan dengan menyusuri jalan Pemuda hingga Jalan Pramuka, di sepanjang jalan yg saya lalui saya hanya melihat pemandangan massa yg melampiaskan dendam, segala sesuatu yg bisa & memungkin untuk dijangkau “dibelasah” habis, saya benar-benar putus asa melihat keadaan yg demikian, seperti tidak ada Tuhan waktu itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun