Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Freedom or Undead

29 Januari 2021   20:37 Diperbarui: 24 Maret 2021   09:04 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikutip dari Pxhere

Tahun 1949...

Penyergapan itu harusnya seperti membalik telapak tangan. Mudah. Patroli tentara Belanda itu hanya berbekal senjata ringan. Tanpa kendaraan berat seperti tank atau sejenisnya. Hanya ada dua jeep. Itu pun tanpa senapan otomatis di bak belakang.

Siapa yang mengira itu hanya umpan.

Sudah ada tiga peleton pasukan bersenjata berat menunggu di kegelapan malam. Menunggu para gerilyawan yang akan melakukan sergapan. Dan apa yang terjadi kemudian adalah pembantaian.

Hampir seluruh anggota gerilyawan gugur seketika. Termasuk Komandan Priyadi, pimpinan mereka.

Letnan Aryo tidak punya waktu buat bersedih. Sekarang dia harus mengambil alih pimpinan. Tiga gerilyawan yang tersisa diarahkan ke hutan. Bersembunyi dari kejaran musuh.

"Kalau kupikir-pikir, Belanda-Belanda itu memang menjebak kita," kata Tedjo. Dia memang terkenal sebagai gerilyawan paling kontras. Badannya gede tapi otaknya kecil. Selalu telat mikir.

"Syukurlah, dari tadi aku penasaran kapan kau akan menyadari itu," komentar Lukman. Gerilyawan kurus itu tetap sarkastis bahkan di saat seperti ini.

"Tapi Belanda-Belanda itu kok bisa tahu ya?" Tedjo tak merasa disindir Lukman. "Jangan-jangan mereka punya dukun yang bisa meramal."

"Ada pengkhianat di antara kita..."

Kalimat itu diucapkan Dyah, sang petugas palang merah. Satu-satunya kaum hawa dalam pasukan gerilya tersebut.

Tedjo terkaget-kaget. "Pengkhianat? Maksudmu ada teman kita yang membocorkan rencana penyergapan pada tentara Belanda?"

Lukman sama-sekali tidak kaget. Dia menambahkan, "Dan karena yang lain sudah pada mampus, maka pengkhianat itu pasti salah-satu dari kita berempat."

Aryo mengangguk-angguk. Wajahnya muram. "Semoga kita masih bisa menemukan pengkhianatnya sebelum Belanda-Belanda itu menemukan kita."

Kata-kata itu membuat semuanya terdiam.

Aryo mengambil pisau belati dari pinggangnya dan mengulurkan benda itu kepada Dyah. "Kau harus punya sesuatu untuk membela diri. Siapa tahu kami bertiga mati duluan."

Dyah menatap benda itu dengan pandangan ngeri. "Tidak. Aku tidak mau. Tugasku di sini mengobati. Bukannya malah..."

Seberkas cahaya menyilaukan memotong perkataan gadis itu. Cahaya tersebut turun dari langit dan jatuh di seberang hutan. Begitu menghantam bumi, terjadi guncangan gempa yang dahsyat.

Dyah merasakan benturan keras pada kepalanya. Dan dia pun pingsan.

Saat terbangun, dia menemukan ketiga rekannya berdiri berselubung debu tebal. Ketiga-tiganya nampak kebingungan. Bahkan ketakutan.

"Apa yang terjadi," Dyah bangkit sambil mengernyit. Satu batang pohon tumbang di sisinya. Rupanya itu yang membentur kepalanya.

"Sesuatu yang tidak masuk akal," sahut Aryo.

Dyah menengok sekeliling, dan terkaget-kaget. Hutan tempat mereka bersembunyi sudah rata dengan tanah. Seluruh pohon yang ada tumbang seperti diterjang badai.

Dan di kejauhan nampak asap bercahaya kehijauan membumbung ke langit malam.

Aryo mengambil keputusan. "Kita harus memeriksanya."

Keempat gerilyawan itu pun bergerak keluar hutan. Melintasi bangkai pepohonan yang tumpang tindih. Mendekati sumber asap yang bercahaya aneh tersebut.

Apa yang mereka lihat di sana betul-betul mencengangkan.

Ratusan serdadu Belanda yang mengejar mereka bergeletakan di tanah. Tewas. Semuanya dalam kondisi terbakar hangus. Dan kengerian itu belum semuanya.

Sebuah kawah raksasa membentang tak jauh dari posisi mayat-mayat itu. Dari sanalah asap dan cahaya kehijauan itu berasal. Saat keempat gerilyawan mendekatinya, mereka bisa melihat ada sesuatu di balik asap tersebut.

Sepertinya sejenis pesawat terbang. Tapi disainnya sangat aneh. Berbentuk seperti kerang raksasa. Lebih terlihat organik daripada mekanik. Ada semacam pintu di bagian bawah. Dekat permukaan tanah.

Dan pintu itu terbuka.

"Aku tidak pernah melihat kapal terbang seperti ini," ujar Tedjo.

"Tidak ada yang pernah melihat kapal terbang seperti ini," Lukman mengkoreksi.

Dyah tiba-tiba berkata, "Kita harus masuk ke pesawat itu sekarang!"

Aryo menggeleng. "Terlalu berbahaya. Kurasa lebih baik..."

"Kurasa kita tidak punya pilihan!"

Ada sesuatu dalam nada bicara Dyah yang membuat Aryo cepat-cepat menoleh padanya. Gadis itu sedang menatap ke belakang mereka. Matanya terbelalak. Seperti melihat hantu. Atau sesuatu yang lebih buruk.

Aryo berpaling - dan nafasnya tersentak.

Mayat-mayat serdadu itu bangkit. Satu demi satu. Gerakannya lambat dan terhuyung-huyung. Mungkin akan nampak lucu, jika tubuh mereka tidak setengah hancur.

Para gerilyawan itu terkesiap. Menahan nafas. Tapi mayat-mayat hidup itu seperti tidak melihat kehadiran mereka. Semuanya hanya terhuyung-huyung tak tentu arah.

Sampai kemudian terjadi sesuatu yang konyol. Dengan polos, Tedjo bertanya, "Kok orang mati masih bisa jalan-jalan sih?"

"Ssst...diam!" tukas Lukman.

Terlambat. Mendengar suara Tedjo, mayat-mayat itu serempak menoleh ke arah para gerilyawan. Seolah baru menyadari keberadaan mereka.

Lukman mengerang, "Ya ampuuun..!"

Apa yang terjadi kemudian seperti mimpi buruk. Mayat-mayat hidup itu berubah ganas. Mendesis seperti kucing yang marah, lantas menyerbu dengan gerakan gesit. Tak lagi terhuyung-huyung seperti sebelumnya.

"Tembak!" seru Aryo spontan.

Keempat gerilyawan itu beraksi. Senapan Owen di tangan mereka menyalak keras, memuntahkan rentetan peluru. Mayat-mayat itu bertumbangan kena tembakan. Tapi bangkit lagi.

"Mundur!" teriak Aryo. "Masuk ke pesawat itu!"

Sambil berlari, dia melemparkan granat ke arah mayat-mayat hidup yang mengejar. Ledakan yang ditimbulkan memberi waktu bagi mereka untuk menyusup masuk ke dalam pesawat.

Mereka sekarang berada dalam sebuah ruangan berbentuk segi-empat yang remang-remang. Cahaya kehijauan berpendar dari permukaan dinding. Cahaya itu temaram dan berdenyut. Seperti hidup.

Aryo buru-buru memperhatikan sekeliling. "Kita harus mencari sesuatu untuk mencegah mereka masuk."

"Tidak perlu," kata Dyah. "Lihat!"

Aryo menoleh. Entah bagaimana, pintu masuk tadi sudah tertutup rapat. Tak ada celah sama-sekali.

Dan itu suatu keberuntungan. Karena sebentar kemudian terdengar pintu itu digedor-gedor. Tapi nampaknya pintu itu cukup kuat menahan serbuan dari luar.

Tejo menggaruk-garuk kepala. "Ini namanya selamat atau malah terjebak?"

"Pertanyaan bagus," kata Lukman singkat.

Tejo nampak bangga.

Merasa bebas ancaman untuk sementara, Dyah memperhatikan ruangan itu sekali lagi. Satu pikiran mendadak muncul di kepalanya.

"Dulu aku punya teman Belanda. Kutu buku. Aku pernah meminjam satu bukunya. Buku cerita. Tentang makhluk dari Mars yang menghancurkan kota London."

Aryo menatapnya. "Kau mau bilang ini sebuah pesawat yang berasal dari planet lain?"

Dyah mengangkat bahu.

"Hebat," dengus Lukman. "Kita punya penjajah dari bangsa lain, pengkhianat dari bangsa sendiri, dan sekarang tambah penghancur dari planet lain!"

"Omong kosong," tukas Tedjo. "Ini pasti ulah setan. Yang suka bikin mayat hidup kan setan. Kayak pocong dan kuntilanak itu lho."

Lukman terkekeh mengejek, "Lalu kenapa setan itu tidak membikin kita sekalian jadi mayat hidup?"

"Lha kita kan belum mati," sahut Tedjo dengan polosnya.

Dyah tersenyum pahit mendengar percakapan mereka. Ditepuknya pundak Tedjo seraya berkata, "Sepertinya bukan kamu pengkhianat itu."

"Karena aku terlalu alim?"

"Karena kamu terlalu goblok," sambar Lukman terkekeh.

Pembicaraan ketiga anak buahnya membuat Aryo kembali bermuram-durja. Seolah kehilangan tenaga, lelaki itu duduk di lantai. Bersandar di dinding.

Dyah merasa khawatir melihatnya. "Kau tidak apa-apa?"

Aryo menatap Dyah. Lalu berganti menatap Lukman dan Tedjo. Akhirnya dia menghela nafas sebelum berkata, "Akulah pengkhianat itu. Akulah yang selama ini memberi informasi kepada tentara Belanda."

Bisa dibayangkan betapa terkejut ketiga bawahannya.

Dengan wajah mendadak gusar, Lukman mau menembak Aryo. Tapi Dyah buru-buru mencegahnya.

"Kenapa?" tanya gadis itu pada Aryo. "Mengapa kau melakukannya?"

Aryo menunduk. Pasrah. "Istriku kena malaria. Parah. Kau tahu sendiri, kita tak punya obatnya. Tapi Belanda-Belanda itu punya. Aku tak punya pilihan lain. Maaf."

"Maaf?" bentak Lukman. "Gara-gara kau, teman-teman kita mati semua. Dan kau cuma bilang maaf?"

Aryo mengangkat mukanya. Menatap Lukman. "Kau mungkin tidak percaya. Tapi aku sudah berusaha agar informasi yang kuberikan tidak terlalu penting. Ya, aku yang menyebabkan pos gerilya kita di desa Benowo diserbu Belanda. Tapi pos itu sudah jarang kita singgahi. Tidak berbahaya kalau diketahui musuh. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa mengetahui rencana penyergapan kita ini."

"Kau benar, aku tidak percaya," sergah Lukman seraya mengarahkan moncong senjatanya ke kepala Aryo. "Jadi tak usah banyak bicara. Makan peluruku ini saja! Pengkhianat harus mati."

"Jangan," Dyah menempatkan dirinya di antara moncong senapan dan Aryo. "Kita masih harus menghadapi mayat-mayat hidup di luar sana."

Pandangan sinis Lukman beralih ke Dyah. "Kau yakin cuma itu alasannya? Kudengar kau sudah tidur berulang-kali dengan penyayang istri ini!"

Dyah menampar Lukman dengan keras. Tapi gadis itu tidak membantah atau mengatakan apapun.

Sementara mereka bertengkar, tak ada yang memperhatikan Tedjo. Sejak Aryo menyebut-nyebut desa Benowo, lelaki gempal itu nampak berpikir keras. Lalu wajah yang biasa plonga-plongo itu mendadak berubah beringas.

"Bajingan!" teriaknya. "Nenekku yang tinggal di Benowo mati tertembak waktu Belanda menyerbu ke sana. Jadi kau gara-garanya!"

Senapan di tangan Tedjo bergerak, hendak memuntahkan peluru pada Aryo. Tapi belum sempat menarik picu, tiba-tiba lelaki itu menjerit kesakitan.

Sesuatu yang panjang, runcing, dan bersinar menusuk punggungnya sampai tembus ke dada.

Ketiga gerilyawan lainnya mundur dengan mata terbelalak kaget.

Satu sosok tinggi besar berbaju zirah, seperti raksasa dalam cerita pewayangan, berdiri di belakang Tedjo. Tangannya memegang semacam tombak membara yang menusuk gerilyawan itu. Lalu mulutnya yang penuh taring menelan kepala Tedjo. Menggigitnya sampai putus, lalu mencampakkan tubuhnya ke lantai.

"Tembak!" teriak Aryo. "Tembak!"

Herannya, Lukman mengikuti perintah Aryo. Mereka menembak bersamaan. Hujan peluru membuat makhluk itu terhuyung mundur. Tombak di tangannya terlepas dan jatuh.

Ketika membentur lantai, tombak itu memendek menjadi tabung kecil berwarna keperakan, lalu menggelinding menjauh.

Dan berhenti di dekat kaki Dyah.

Aryo berteriak. "Ambil benda itu!"

Dyah memandang tabung keperakan itu dengan ketakutan. "Aku...aku tidak bisa."

"Ini perintah!" bentak Aryo. "Kau bisa menggunakannya untuk...."

Dia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Makhluk raksasa tadi tiba-tiba maju dengan gerakan cepat. Berondongan peluru seperti tidak berpengaruh. Satu tangan menghantam Aryo ke lantai, sementara tangan lain melempar Lukman sampai terpelanting.

Lalu dia menyambar Dyah. Menghempaskannya ke dinding.

Mendadak makhluk itu tertegun. Dia memperhatikan Dyah lebih seksama. Menyadari sedang berhadapan dengan jenis kelamin yang berbeda. Sambil mengeluarkan suara dengkuran, tatapannya terarah ke mata gadis itu.

Seketika Dyah mengalami kejang-kejang. Seperti tersengat arus listrik. Seolah ada energi tak terlihat yang mengalir dari mata makhluk itu. Pada saat bersamaan, tangan kirinya yang bebas meraih baju Dyah. Seolah ingin merenggutnya.

Namun sebelum makhluk itu sempat melakukannya, Aryo tiba-tiba nekad melompat ke punggungnya dan menghunjamkan belati ke bola matanya.

Belati itu menembus sampai ke dalam.

Makhluk itu meraung kesakitan dan melepaskan Dyah. Gadis itu langsung roboh ke lantai. Tangannya yang lunglai menindih tabung warna perak tadi.

Aryo sendiri bernasib malang. Makhluk itu berhasil merenggutnya dari punggung. Dia pun dibanting ke lantai. Dan sebelum sempat berbuat apa-apa, cakar-cakar runcing dari makhluk itu telah menembus dadanya.

Aryo tidak menjerit. Malah berteriak, "Hanya seperti ini kemampuanmu, Bangsat?"

Makhluk itu membalas dengan geraman keras. Mulutnya menganga lebar. Jelas dia juga mau melahap kepala Aryo.

"Masih lapar? Aku punya sesuatu yang lebih enak!"

Sambil berkata demikian, Aryo menjejalkan granat terakhir ke kerongkongan yang menganga di hadapannya.

Makhluk itu mengeluarkan suara seperti orang tersedak. Tangannya menggapai-gapai mulut. Tapi granat itu sudah terlalu dalam di kerongkongannya.

Aryo memanfaatkan kesempatan untuk berguling menjauh dan merangkul Dyah. Melindungi gadis itu dari apa yang terjadi sedetik kemudian.

Kepala makhluk itu meledak. Menghamburkan tulang tengkorak, daging, dan semburan darah berwarna pekat. Tubuhnya yang besar langsung roboh seketika. Tak bergerak lagi.

Aryo melepaskan rangkulannya. Dia berbaring terlentang dengan nafas tersengal. Luka-lukanya sudah parah. Tapi dia tersenyum menatap Diah yang menitikkan air mata.

"Aku...sudah menyelamatkan...dua wanita yang kucintai," kata lelaki itu dengan susah payah. "Kuharap...cukup....menebus pengkhianatanku."

Dyah mengecup kening Aryo. Dan lelaki itu pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Lukman melangkah mendekat. Canggung. "Uh..aku harus mengakui bajingan ini berani sekali. Kutarik semua serapahku tadi. Aku pasti sudah mampus kalau dia tidak....ada apa lagi ini?"

Cahaya kehijauan yang berpendar dari sekujur dinding ruangan tiba-tiba padam. Seolah kematian makhluk raksasa tadi juga mematikan sumber cahayanya.

"Bahaya!" desis Dyah.

Dan memang demikian. Pintu keluar yang semula tertutup tadi mendadak terbuka. Mayat-mayat hidup yang semula di luar sekarang menyerbu masuk. Beberapa di antaranya sudah tidak utuh. Hanya tersisa tubuh bagian atas. Merayap-rayap dengan kegesitan yang mencengangkan.

Sejenak mereka mengacuhkan Dyah maupun Lukman. Semua lebih tertarik pada tiga mayat yang ada. Seperti kawanan piranha kelaparan, mereka merobek-robek ketiga mayat itu dengan gigi dan jari.

Dyah menarik tangan Lukman. "Ikuti aku!"

Lukman kaget. "Ke mana?"

Tak ada waktu menjelaskan. Dyah berlari ke seberang ruangan. Ternyata ada pintu di sana. Dyah menggesernya dengan mudah. "Masuk, cepat!"

Lukman ragu. Tapi cuma sebentar. Dari sudut matanya, dia bisa melihat mayat-mayat hidup yang tak kebagian jenazah mulai menyerbu mereka berdua. Dia pun segera masuk ke dalam. Dyah menyusul dan menutup pintu itu kembali.

Mereka berdua sekarang berada di sebuah bilik berbentuk melingkar. Ada lubang menganga di atas mereka. Dyah mengutak-atik panel kecil di samping pintu.

"Tenaga cadangan bisa memperkuat pintu ini beberapa detik," kata Dyah. "Cukup buat kita untuk naik ke atas."

Dikutak-katiknya panel itu sekali lagi. Dan tiba-tiba dari dinding melingkar itu mencuat batang-batang logam seperti pegangan anak tangga. Berderet dari lantai sampai ke tepi lubang di atas.

Lukman melongo. "Bagaimana kau tiba-tiba tahu semua itu?"

Tapi lagi-lagi Dyah tak sempat menjawab. Pintu itu pun digedor-gedor dari luar. Bahkan mulai bisa dibuka paksa. Celah mulai menganga di tepinya. Dari sana tangan-tangan tinggal tulang menggapai-gapai.

Dyah maupun Lukman cepat-cepat memanjat deret anak tangga tadi. Mereka sudah mencapai tepi lubang ketika mayat-mayat hidup itu berhasil membobol pintu dan menyerbu dalam bilik.

Namun saat sebagian di antara mereka mau memanjat naik, seluruh pegangan tangga tadi kembali terbenam kembali ke dinding.

Dari atas lubang, Lukman memandang nanar pada kerumunan mayat hidup di bawah. Semuanya menggapai-gapai ke atas sambil membuka-tutup rahang. Sulit membayangkan dulunya mereka juga manusia.

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.

Dirinya kini berada di kabin yang menyerupai kokpit pesawat terbang. Lengkap dengan jendela berkaca tebal dan serangkaian papan kendali. Hanya disain interior maupun avioniknya terlihat sangat aneh.

Dyah tengah berkutat di depan papan kendali. Menyentuh di sana-sini seolah dia tahu persis apa yang dilakukannya.

"Makhluk itu memang datang dari planet lain," kata gadis itu. "Dia kemari untuk menyantap kaum lelaki dan menggagahi perempuannya. Rupanya terjadi kecelakaan dan pesawat ini terpaksa mendarat darurat. Kerusakannya tidak parah. Dan sekarang sudah siap mengudara kembali."

Lukman, yang sedari tadi memandangi Dyah dengan muka keheranan, lagi-lagi bertanya, "Bagaimana...dari mana kau tahu semua itu? Bagaimana kau tahu-tahu bisa menjalankan peralatan aneh ini?"

"Makhluk itu berkomunikasi lewat pikiran. Dia menggunakannya untuk mengontrol perempuan calon korbannya. Itulah yang dia lakukan tadi terhadapku. Beruntung Aryo bisa membunuhnya sebelum benar-benar bisa mengontrol diriku. Tapi sisa pikirannya masih ada di kepalaku. Aku sekarang mengetahui apa yang dia ketahui."

Lukman ternganga. "Dan mayat-mayat hidup itu?"

"Ada kebocoran tenaga saat pesawat ini mendarat darurat. Tenaga itu memancarkan gelombang yang mempengaruhi jazad yang sudah tak bernyawa. Merombak susunan dasarnya. Mengubah mereka menjadi makhluk setengah hidup yang haus darah."

Lukman kehabisan kata-kata. Sarkasmenya hilang musnah.

Tiba-tiba terdengar dengungan keras. Pesawat itu mulai bergetar dan semua peralatan avionik menyala seperti pohon natal.

Lukman makin tercengang. "Apa...apa yang kau lakukan?"

"Aku memberikan perintah kepada pesawat ini untuk terbang setinggi mungkin setelah kita keluar dari sini," jawab Dyah. "Dan setelah mencapai ketinggian aman, pesawat ini akan meledak dengan sendirinya - sesuai perintah yang baru kuberikan."

Lukman terkejab-kejab. "Kenapa kau lakukan itu?"

"Pesawat ini dan seluruh persenjataan yang ada di dalamnya terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah," tegas Dyah. "Demikian juga dengan mayat-mayat hidup itu. Kita harus memusnahkan mereka semua. Aku sudah menutup pintu keluar. Sekarang mereka terjebak di dalam pesawat ini."

"Kau ini bagaimana?" protes Lukman. "Dengan pesawat dan mayat-mayat hidup itu, kita tidak hanya bisa melawan anak buah Meneer Van der Valk. Bahkan seluruh anjing-anjing Belanda itu bisa kita usir dari negeri kita."

Dyah menatap tajam lelaki di hadapannya. "Dari mana kau tahu nama panglima Belanda yang baru itu? Tak ada yang tahu kecuali para komandan sektor. Aku tahu karena Aryo memberi tahu. Tapi kau tahu dari mana? Kecuali...."

Lukman balas menatap gadis itu. Tak ada gunanya berpura-pura sekarang. "Kau benar. Akulah yang sebenarnya membocorkan rencana penyergapan kita. Belanda-Belanda itu tahu kalau informasi yang diberikan Aryo tak ada nilainya. Mereka mencari sumber informasi lain. Dan kebetulan aku butuh duit."

Wajah Dyah mengeras. "Dan kau tadi menyalahkan Aryo soal teman-teman kita yang mati. Padahal kau sendiri yang berlumuran darah mereka!"

Lukman tertawa. "Baiklah, mungkin aku sedikit munafik. Bukan masalah. Kau pikir semua perjuangan kita ini ada gunanya? Kau pikir rakyat kecil seperti kita akan makmur kalau Belanda-Belanda itu cabut? Tidak. Hanya penggede-penggede keparat itu yang akan menikmati kemerdekaan. Kita yang kere ini akan tetap kere. Aryo menyadari itu. Aku juga. Kami sama saja sebenarnya."

"Tidak," tukas Dyah. "Paling tidak, Aryo mau mengaku. Dia tidak munafik dan mau bertanggung-jawab. Kau? Kau pura-pura marah. Ngotot bilang pengkhianat harus mati. Padahal pengkhianatanmu lebih besar. Kau tidak sama dengan Aryo. Kau bahkan lebih buruk dari mayat-mayat hidup itu!"

Lukman mencabut pistol cadangannya, lalu menodongkannya ke muka Dyah. "Bisa jadi. Tapi nasibku akan jelas lebih baik. Sekarang batalkan semua perintahmu tadi. Kita akan menghancurkan semua markas Belanda dengan pesawat ini. Setelah itu kita terbang ke Ibu Kota. Para pimpinan di sana pasti akan menganggapku pahlawan. Oh, bukan hanya pahlawan. Mereka akan menganggapku Ratu Adil."

Dyah tidak bereaksi. Dia tetap berdiri tenang, seraya berkata, "Ada satu hal yang belum kuberitahukan padamu..."

Lukman mendengus. "Oh ya? Apa itu?"

"Saat makhluk itu merasuki pikiranku, bukan hanya pengetahuannya yang kudapat."

Sambil berkata demikian, Dyah tiba-tiba berkelebat. Bergerak dengan kegesitan yang sama dengan makhluk raksasa tadi. Pistol di tangan Lukman ditepis dengan mudahnya. Dan dalam satu gerakan, kakinya menendang ke depan.

Lukman terdorong ke tepi lubang. Tubuhnya terkatung-katung mau jatuh. Tapi sebelum benar-benar jatuh, Dyah sempat memegang bagian depan bajunya.

Lelaki itu tergantung miring di tepi lubang. Hanya tertahan oleh pegangan tangan perempuan di hadapannya. Kedua orang itu saling berpandangan tanpa berkata-kata.

"Aku hanya setuju dengan salah satu perkataanmu," Dyah memecah keheningan. "Pengkhianat harus dihukum mati."

Gadis itu pun melepaskan pegangannya.

Disertai jerit ketakutan, Lukman jatuh ke dalam lubang. Mayat-mayat hidup di bawah menyambutnya dengan desis suka-cita. Hanya sekejab saja tubuhnya sudah tercabik-cabik oleh mereka.

Dyah tak membuang waktu lagi. Dia memainkan papan kendali untuk terakhir kalinya. Dua hal segera terjadi sekaligus. Pesawat itu mulai membumbung dan salah satu jendela kokpit itu terbuka.

Tanpa ragu Dyah melompat keluar jendela. Membiarkan tubuhnya meluncur sepanjang dinding luar pesawat yang melandai ke bawah. Sampai akhirnya menjejak tanah. Tepat di tepi kawah.

Gadis itu tidak berhenti. Terus berlari. Sekencang mungkin. Sementara pesawat antariksa di belakangnya terus membumbung. Semakin tinggi. Dan terus meninggi.

Persis ketika Dyah sudah menyuruk di balik satu beringin yang tumbang, pesawat itu meledak. Menjelma menjadi supernova yang menyilaukan. Langit malam seolah menjelma siang bolong selama beberapa saat.

Sebelum kegelapan kembali berkuasa.

......

Fajar menyingsing. Kabut pelan menyingkir. Dari baliknya Dyah tegak melangkah. Di hadapannya membentang satu desa yang nampak masih sepi. Belum terlihat kegiatan apapun.

Gadis itu melangkah ke sana. Bajunya kotor. Robek di sana-sini. Tapi sinar wajahnya lebih terang dari sebelumnya. Seolah peristiwa semalam telah menempanya. Menjadi sesuatu yang berbeda.

Sekonyong-konyong dia berhenti.

Dilihatnya mulai ada pergerakan di desa. Satu-dua bayangan terlihat. Dan terus bertambah. Sekilas mereka seperti penduduk desa. Mungkin memang penduduk desa. Lelaki, perempuan, anak kecil. Keluar dari gubuk-gubuk mereka.

Tapi ada sesuatu yang janggal. Gerakan mereka terhuyung-huyung. Dan saat bayang-bayang tak lagi menutupi, terlihat wujud mereka yang menjijikkan. Tinggal tulang berbalut kulit dan daging yang membusuk.

Mereka pun melihat Dyah.

Seketika mayat-mayat hidup itu berubah gesit. Semua mendadak berlari kencang, saling mendahului. Mulut-mulut tanpa bibir terbuka. Seolah tak sabar untuk menggigit sekujur tubuh Dyah.

Dyah tetap berdiri. Tidak ketakutan. Apalagi menjerit. Dia merogoh kantong celananya. Mengeluarkan tabung keperakan. Senjata makhluk raksasa semalam. Sekarang tangannya tak lagi gemetar saat memegang benda tersebut.

Ketika jarinya menekan kuat, tabung kecil itu memanjang dan berubah menjadi tombak sekaligus pedang. Bilahnya yang transparan diselimuti energi yang panas membara.

Dyah tersenyum. Dia beralih menatap mayat-mayat hidup yang semakin mendekat. Sepasang mata gadis itu bukanlah mata seorang calon korban tanpa daya. Justru sebaliknya.

Itu adalah mata pemangsa yang melihat hewan-hewan buruannya.

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun