I. Embun Pagi yang Menyapa
Di sebuah desa yang dikelilingi persawahan hijau, seorang lelaki bernama Aruna berjalan perlahan di jalan setapak. Embun pagi masih menempel di ujung-ujung padi, seakan alam baru saja selesai berdoa semalaman. Burung-burung berkicau seperti kidung suci, menyambut matahari yang mulai menyibak tirai kabut.
Aruna tersenyum, menghirup dalam-dalam udara pagi. Namun senyumnya bukan sekadar karena alam begitu indah, melainkan karena di dalam rumah sederhana di ujung desa itu, ada seorang perempuan yang selalu menjadi alasan bagi hatinya untuk kembali pulang. Namanya Kirana.
Kirana bukan hanya istri baginya. Ia adalah cahaya yang membuat setiap langkah berat menjadi ringan, doa yang hidup dalam bentuk manusia. Setiap kata lembut Kirana selalu menjadi pelukan sunyi bagi jiwa Aruna yang kerap resah menghadapi dunia.
Namun pagi itu berbeda. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menyesap lebih dalam, meski jarak mereka hanya beberapa langkah. Aruna sadar, rindu sejati bukan soal jauh-dekat tubuh, tetapi jauh-dekat hati.
II. Bunga yang Tumbuh dalam Keheningan
Kehidupan Aruna tidaklah mudah. Ia bekerja keras di kota, menempuh perjalanan panjang setiap hari. Kadang peluhnya terasa sia-sia. Kadang ia ingin menyerah. Tetapi di tengah kebisingan kota, ada pesan-pesan singkat dari Kirana yang selalu menyelamatkannya:
"Papa jangan lupa sarapan ya, mama selalu doakan papa agar semuanya lancar. Love you."
Pesan sederhana, namun seperti setetes air yang menyegarkan tanah kering. Kata-kata itu membuat Aruna kembali berdiri.
Ia sering berkata dalam hati: "Tuhan tidak selalu menjawab doa dengan mukjizat besar. Kadang doa itu dijawab dengan hadirnya seseorang yang tulus mencintaimu tanpa syarat."