“Betapa sering aku sibuk berlari mengejar banyak hal. Betapa sering aku lupa, bahwa yang terpenting bukanlah seberapa banyak yang kudapat, melainkan seberapa besar syukurku. Betapa sering aku mencari kebahagiaan di luar, padahal kebahagiaan itu sudah ada di rumah, di wajah istri dan anak-anakku.”
Ia menunduk, merasakan detak jantungnya sendiri. Ada keheningan yang indah, keheningan yang tidak sepi. Seakan alam pun ikut berkata: ‘Cukup. Apa yang kau cari di luar sana sudah ada di sini. Rumahmu adalah surga kecilmu. Jangan pernah kau abaikan.’
Cinta yang Menyembuhkan
Sejak menikah, lelaki itu merasa hidupnya jauh lebih utuh. Ia yang dulu sering keras pada diri sendiri, kini belajar melembut. Ia yang dulu mudah lelah, kini lebih mudah tersenyum. Semua karena kehadiran seorang perempuan yang setiap pagi mengucap syukur karena memilikinya.
Ia teringat, betapa banyak pasangan di luar sana yang memilih berpisah hanya karena hal kecil. Ada yang menyerah karena merasa lelah. Ada yang berpisah karena merasa cinta tak lagi sama. Namun ia bersyukur, ia dan istrinya memilih untuk selalu kembali pada doa. Mereka mungkin tak sempurna, tapi mereka selalu memilih untuk tetap bersama.
Istrinya pernah berkata, “Sayang, kita ini bukan hanya pasangan. Kita ini adalah rumah untuk satu sama lain. Kalau salah satu retak, yang lain mesti menambal. Kalau salah satu jatuh, yang lain mesti mengangkat.”
Dan itulah yang mereka jalani. Sebuah rumah bernama cinta.
Penutup: Doa di Ujung Senja
Hari itu berlalu seperti biasa. Lelaki itu kembali bekerja, kembali berjuang, kembali menatap dunia dengan semangat baru. Namun ada yang berbeda. Di dalam hatinya, ia membawa doa yang dikirimkan istrinya di pagi hari. Doa yang membuat langkahnya lebih ringan, wajahnya lebih ramah, dan hatinya lebih tenang.
Saat senja tiba, ia kembali ke rumah. Ia melihat istrinya tersenyum di ambang pintu. Senyum itu sama, tapi hatinya melihatnya berbeda. Kali ini, ia tahu, senyum itu bukan sekadar sambutan. Itu adalah doa, itu adalah cinta, itu adalah rumah.
Ia mendekap istrinya, lalu berbisik pelan,
“Terima kasih, Sayang. Aku juga bersyukur bisa memilikimu. Aku mungkin berjuang dengan tenaga, tapi kau selalu berjuang dengan cinta. Dan itulah yang membuatku bertahan.”