Pagi itu datang dengan pelan, seperti seorang sahabat lama yang mengetuk pintu dengan penuh kesabaran. Langit masih menyisakan warna biru muda, ditemani sisa kabut tipis yang bergelantung di antara pepohonan. Burung-burung kecil berkicau riang, seakan ikut merayakan kehadiran hari baru.
Di teras rumah sederhana yang dipenuhi aroma bunga kamboja, seorang lelaki duduk diam. Secangkir kopi hitam mengepul di tangannya. Tatapannya mengembara jauh, bukan pada langit atau gunung di kejauhan, melainkan pada sebuah pesan singkat yang baru saja ia terima dari istrinya. Pesan itu sederhana, penuh kata-kata lembut: “Sayang mama bantu ngga seberapa kok, di sini lebih banyak perjuangan papa. Mama lihat banyak bukti bahwa papa benar-benar mencintai mama dengan segala perjuangan untuk hubungan kita sayang. Selamat pagi juga cintaku tersayang 🥰🌹 membaca kata-katamu bikin pagi ini terasa lebih indah. Semoga harimu selalu penuh berkah, semangat, dan kebahagiaan. Aku juga bersyukur bisa memilikimu dalam hidupku.”
Kalimat itu menetes ke dalam hatinya, menenangkan segala resah, meneguhkan segala langkah. Ia tersenyum, menutup mata sejenak, lalu menarik napas panjang. Dalam hati kecilnya ia berbisik, “Inilah doa yang menjelma dalam wujud kata. Inilah rumah tempatku pulang, meski dunia di luar penuh gelombang.”
Cinta dalam Perjuangan
Sejak muda, lelaki itu memang hidup dalam perjuangan. Ia tumbuh dari keluarga sederhana, di mana kerja keras bukan pilihan, melainkan kewajiban. Ia terbiasa melihat ayahnya pulang dengan keringat menetes, dan ibunya menenun doa dalam diam. Dari sanalah ia belajar, bahwa cinta sejati bukan hanya kata manis, melainkan tenaga yang dicurahkan, pengorbanan yang diberikan, dan kesetiaan yang dijaga.
Kini, setelah ia dewasa dan menikah, nilai itu kembali hadir dalam hidupnya. Bersama istrinya, ia belajar bahwa rumah tangga bukanlah taman bunga yang selalu harum. Ada badai yang mengguncang, ada gelombang yang menggoda, ada kerikil yang melukai. Namun, di tengah itu semua, ada juga tangan lembut yang menggenggam, ada senyum yang menenangkan, dan ada doa yang tak pernah putus.
Istrinya sering berkata bahwa perjuangannya lebih besar. Namun ia tahu, istrinya merendah. Sebab di balik dirinya yang berlari mengejar rezeki, ada istrinya yang menjaga rumah dengan penuh kasih, memastikan anak-anak tertawa, memastikan dapur beraroma hangat, memastikan setiap doa berangkat bersama langkahnya.
Surat dari Pagi
Pesan yang ia baca pagi itu terasa seperti surat dari langit. Kata-kata sederhana itu menjelma doa, membasuh luka yang kadang tak terlihat.
“Selamat pagi, cintaku tersayang,” begitu kata istrinya.