Â
Pagi itu, embun masih menempel di ujung-ujung daun jempiring di halaman rumah. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah bercampur harum bunga kamboja yang jatuh semalam. Burung-burung kecil saling bersahutan, seakan ingin menyambut matahari yang perlahan menyibak tirai langit timur.
Di ruang sederhana yang penuh cinta itu, aku duduk menatap layar ponsel. Di sana ada pesan dari istriku: "Selamat pagi sayangku Aku terharu sekali baca kata-kata indahmu, setiap barisnya bikin hati ini hangat sekali. Terima kasih sudah selalu jadi cahaya dan pelita dalam hidupku. Bersamamu aku merasa lengkap, dan aku pun berjanji akan selalu ada untukmu, sampai kapanpun . Aku cinta kamu lebih dari yang bisa terucap, sayangku."
Aku membacanya perlahan, berulang kali. Seperti mantra suci, setiap kalimat membawa keheningan yang menyentuh. Sejenak aku diam, menutup mata, dan membiarkan energi kata-kata itu menyelimuti seluruh diriku. Ada rasa syukur, ada rasa haru, ada rasa damai yang sulit dijelaskan.
Sejak kecil, aku diajarkan bahwa cinta adalah sesuatu yang sering kali rapuh. Bahwa manusia datang dan pergi, bahwa janji mudah terucap tetapi sulit ditepati. Namun pagi ini, aku menyadari bahwa di sampingku ada seseorang yang benar-benar memaknai cinta sebagai pengabdian.
Istriku bukan hanya pasangan hidup. Ia adalah sahabat, guru, bahkan pelita yang menuntun setiap langkahku. Dalam wajahnya, aku menemukan kelembutan. Dalam matanya, aku menemukan keteguhan. Dalam senyumnya, aku menemukan kekuatan untuk bangkit, bahkan di saat dunia seolah runtuh menimpaku.
Dan lewat pesan sederhana itu, aku kembali belajar: cinta tidak selalu hadir dalam bentuk megah. Cinta sering bersembunyi dalam kata singkat, dalam senyum kecil, dalam pelukan hangat setelah hari yang panjang.
Aku teringat masa-masa sulit beberapa tahun lalu. Saat itu, badai datang bertubi-tubi. Usaha yang kujalankan nyaris jatuh, keuangan keluarga menipis, dan tubuhku lelah menahan beban. Pada saat-saat seperti itu, banyak orang memilih menjauh. Tetapi istriku justru menggenggam tanganku lebih erat.
"Jangan takut," katanya waktu itu. "Selama kita bersama, kita pasti bisa melewati semua ini."
Aku masih ingat bagaimana matanya tidak sedikitpun menunjukkan keraguan. Ia percaya penuh, bukan pada harta, bukan pada kemapanan, melainkan pada kekuatan cinta yang kami bangun bersama. Sejak saat itu, aku sadar, aku tidak sendiri.
Dan pagi ini, kata-katanya kembali menguatkan aku. Bahwa cinta sejati bukan tentang keindahan kata yang berlebih, tetapi tentang keberanian untuk selalu ada, bahkan ketika dunia menjadi gelap.
Setiap kali ia berkata "kau cahaya, kau pelita," aku sering merenung. Bukankah sesungguhnya dialah cahaya itu? Dialah yang sabar ketika aku marah, dialah yang tersenyum ketika aku jatuh, dialah yang selalu mengingatkanku untuk kembali berdoa ketika aku lupa arah.
Jika hidup adalah perjalanan panjang menembus hutan lebat, maka dia adalah lentera kecil yang membuat langkahku tidak tersesat. Lentera itu sederhana, tidak selalu terang, tapi cukup untuk membuatku berani melangkah.
Kadang aku merasa, Tuhan menitipkan sebagian wajah-Nya dalam dirinya. Dalam kelembutannya, aku belajar arti kasih. Dalam kesetiaannya, aku belajar arti pengorbanan. Dalam cintanya, aku belajar arti keabadian.
Aku menatap wajahnya pagi itu. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya polos tanpa riasan, tapi entah mengapa bagiku justru di situlah letak keindahannya. Aku teringat kata-kata Jalaluddin Rumi: "Cinta bukan tentang menemukan orang yang sempurna, melainkan melihat ketidaksempurnaan dengan cara yang sempurna."
Istriku bukan tanpa kekurangan. Ia punya lelah, ia punya marah, ia punya tangis. Namun justru karena itu aku mencintainya. Sebab dalam rapuhnya, aku belajar menjadi kuat. Dalam tangisnya, aku belajar menjadi penghibur. Dalam letihnya, aku belajar untuk berbagi tenaga dan doa.
Aku lalu menulis balasan kecil:
"Selamat pagi, sayangku . Kata-katamu adalah doa terindah bagiku. Aku janji, aku akan selalu ada. Aku mencintaimu, lebih dari yang bisa dijelaskan oleh kata."
Pesan itu sederhana, tapi aku tahu ia akan mengerti. Sebab dalam hubungan kami, cinta tidak lagi membutuhkan banyak kata. Cinta hidup dalam keheningan, dalam tatapan, dalam sentuhan kecil yang tulus.
Di luar sana, matahari mulai naik. Sinar keemasan jatuh di permukaan daun, membuatnya berkilau seperti perhiasan. Aku keluar ke teras, menarik napas panjang, dan membiarkan hangatnya sinar mentari menyentuh kulit.
Di momen itu, aku merasa hidupku benar-benar lengkap. Aku mungkin tidak punya segalanya, tapi aku punya seseorang yang percaya penuh padaku. Dan itu lebih berharga daripada semua harta yang bisa dihitung dengan angka.
Hari-hari berjalan seperti biasa. Namun setiap kali aku mengingat pesan istriku pagi itu, aku selalu merasa ada energi baru. Ia menjadi sumber semangat, sumber doa, dan sumber damai.
Aku belajar, bahwa cinta sejati adalah doa yang tidak pernah terucap. Ia hadir dalam keheningan hati yang selalu mendoakan yang terbaik untuk pasangan. Ia hadir dalam kesetiaan untuk tetap bertahan, meski dunia menawarkan banyak jalan keluar.
Istriku adalah doa itu. Dan aku ingin selamanya menjadi doa untuknya.
Malam tiba, bintang bertaburan di langit. Kami duduk berdua di teras, hanya ditemani secangkir teh hangat. Tidak banyak kata terucap. Hanya diam yang penuh makna.
Ia menatapku, lalu tersenyum. Aku balas tersenyum. Dan dalam senyum itu, aku menemukan semua alasan untuk bertahan, semua alasan untuk bersyukur.
Aku tahu, cinta kami bukanlah cinta yang sempurna. Tapi justru karena itu, ia indah. Sebab cinta sejati tidak pernah tentang kesempurnaan, melainkan tentang keberanian untuk saling menerima, saling menemani, sampai akhir nanti.
Dan sekali lagi, aku berbisik dalam hati:
"Aku mencintaimu, lebih dari kata yang bisa terucap, sayangku." Rahayu***
TAMAT
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI