Pantai Mutun sore itu seperti sebuah kanvas luas yang dilukis Tuhan dengan tangan penuh kasih. Langit terbentang biru muda, dihiasi semburat jingga di ufuk barat, seakan sedang berlatih menuliskan puisi di atas cakrawala. Lautnya tenang, memantulkan cahaya matahari sore yang berkilau seperti serpihan emas bertebaran di permukaan air. Di kejauhan, perahu nelayan melintas pelan, bagai titik-titik kecil yang menari di atas biru laut.
Aku berdiri di tepi pantai, pasir lembut menelusup di sela-sela jemari kakiku. Angin laut datang menyapa, membawa aroma asin yang mengingatkan pada janji-janji kehidupan: sederhana, jujur, dan setia. Dan di tengah keheningan yang penuh harap, aku menunggu satu nama yang membuat jantungku berdegup tak beraturan---Kirana.
Namanya saja sudah seperti mantra. Dalam bahasa alam, Kirana berarti cahaya. Dan memang, sejak pertama kali aku mengenalnya, senyumnya adalah cahaya yang mampu menyalakan ruang-ruang hatiku yang lama redup. Hari itu, aku menanti kehadirannya, seolah menunggu fajar menyibakkan malam. Jantungku berdetak cepat, seperti ombak yang datang berkejaran tak kenal lelah.
Pertemuan di Bawah Langit Lampung
Dari kejauhan, sosoknya mulai terlihat. Dia berjalan perlahan di bibir pantai, langkahnya ringan seperti menapaki seruling yang sedang memainkan melodi sunyi. Rambut hitamnya tergerai, berkilat ketika disentuh sinar senja, seolah helaian malam sedang berayun lembut di pundaknya. Kulitnya putih bersih, bagai bunga melati yang baru mekar di musim semi. Dan senyumnya---ah, senyum itu---bagaikan ombak pertama yang menyentuh pantai setelah lama merindu.
Ketika mataku menangkap matanya, waktu seakan berhenti. Semua suara hilang, hanya degup jantungku yang terasa begitu jelas di dada. Dia tersenyum, dan aku merasa seluruh pantai Mutun ikut tersenyum bersamanya. Ombak menjadi musik pengiring, angin laut menjadi doa, dan pasir pantai menjadi saksi bisu pertemuan kami.
"Aku datang," ucapnya lirih, suaranya lembut seperti bisikan angin pada daun kelapa.
Aku hanya bisa tersenyum, meski dalam hati aku ingin berteriak ke seluruh semesta bahwa inilah kebahagiaan yang aku cari. Kami berjalan beriringan, kaki kami meninggalkan jejak di pasir basah yang segera dihapus oleh ombak. Jejak itu memang hilang, tetapi perasaan yang tumbuh saat itu akan selamanya terukir dalam hatiku.
Dekapan di Tepi Ombak
Kami duduk di atas pasir, tepat di bawah pohon pandan laut yang menjulang. Ombak berkejaran, kadang lembut, kadang gagah, seolah ingin ikut merayakan pertemuan ini. Aku menoleh padanya, menatap wajah yang begitu sempurna di bawah sinar senja. Matanya jernih, memantulkan warna laut yang tak berkesudahan. Saat itu, aku ingin masuk ke dalam matanya, dan tinggal di sana selamanya.