Ada sebuah dongeng baru dari Senayan. Konon, rakyat marah karena mendengar kabar gaji wakil-wakilnya mencapai seratus juta rupiah sebulan. Angka itu menari-nari di kepala orang-orang, seperti piring nasi goreng di warung kaki lima yang tiba-tiba dihargai satu juta rupiah. Tak terjangkau, tak masuk akal. Tapi di balik dongeng itu, ada seorang  bernama Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR, yang mencoba menenangkan: "Tenanglah. Itu hanya karena ada tunjangan rumah. Hanya sampai Oktober 2025. Setelah itu, tak lagi sebesar itu."
Seakan-akan rakyat akan bersorak gembira mendengar bahwa penghasilan wakilnya akan turun, katakanlah, dari Rp 100 juta menjadi Rp 50 juta. Seakan-akan itu adalah kabar baik. Seakan-akan mereka akan mengucapkan terima kasih sambil melempar bunga, karena para wakil ternyata tidak terlalu rakus, hanya  "setengah" rakus.
Mari kita berhitung dengan logika sederhana.
Seorang pengemudi ojek online bernama Ari, ikut berdemo di depan gedung DPR. Ia barangkali menghasilkan Rp 100 ribu per hari, setelah panas, hujan, dan risiko ditabrak mobil yang main ponsel saat berkendara. Artinya, sebulan ia mendapat sekitar Rp 3 juta. Jika nasib baik berpihak, mungkin Rp 4 juta. Dengan jumlah itu, ia membayar kontrakan, makan sederhana, bensin, kuota internet, cicilan motor, dan tentu saja pajak. Pajak yang sama yang kemudian dipakai untuk membayar *tunjangan rumah* Rp 50 juta sebulan kepada seorang anggota DPR.
Mari bandingkan: kontrakan Ari mungkin Rp 800 ribu. Rumah anggota DPR? Tunjangan Rp 50 juta. Artinya, satu bulan tunjangan rumah seorang wakil rakyat bisa membayar 62 kontrakan Ari. Atau 50 kontrakan, jika yang dipilih agak lebih bagus.
Pertanyaannya sederhana: rumah siapa yang sedang mereka bayari dengan angka sebesar itu? Istana Versailles?
Dasco, tentu saja, tidak sedang bercanda. Ia menjelaskan dengan serius bahwa angka itu hanya sementara. Bahwa setelah Oktober 2025, situasi akan "normal" kembali. Tapi di negeri ini, kata "normal" selalu penuh ironi. Normal berarti gaji wakil rakyat tetap belasan kali lipat dari rata-rata penghasilan rakyatnya. Normal berarti tetap bisa masuk ke restoran mewah tanpa harus mengintip saldo rekening terlebih dulu. Normal berarti tetap bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan cicilan motor.
Kita tahu, kemarahan rakyat tidak lahir semata karena angka Rp 100 juta itu. Ia lahir karena jurang antara yang di bawah dan yang di atas semakin dalam. Jurang itu kini terasa seperti nganga di depan mata, dan kata-kata pejabat yang mencoba menutupinya terdengar seperti gurauan tanpa selera humor.
Mungkin itu sebabnya demo 25 Agustus kemarin berakhir ricuh. Orang-orang sudah terlalu lama menyimpan perasaan ditinggalkan, disindir oleh kenyataan bahwa mereka hanya dibutuhkan saat pemilu. Selebihnya, mereka hanyalah penonton dalam sandiwara tunjangan.
Tentu, para anggota dewan akan berkata: *"Kami bekerja keras. Kami menyusun undang-undang. Kami menampung aspirasi rakyat."* Tapi rakyat, yang menonton siaran langsung rapat paripurna di televisi, sering melihat kursi kosong. Mereka mendengar undang-undang disahkan dalam semalam, tanpa diskusi berarti. Mereka tahu aspirasi lebih sering berbelok ke jalan para pengusaha besar, bukan ke warung kecil di ujung gang.
Maka, ketika gaji mereka diberitakan menembus Rp 100 juta, rakyat tidak melihat angka. Rakyat melihat jarak. Sebuah jurang yang makin sulit diseberangi.