Saya sering mendengar orang berkata, "Indonesia ini negara besar." Bukan hanya besar dari segi wilayah, tapi juga besar dalam hal selisih --- selisih gaji pejabat dan guru honorer, selisih fasilitas sekolah di kota dan desa, selisih jarak antara pasal-pasal UUD dan kenyataan di lapangan. Dan tahun ini, saya mendapat bukti hidupnya.
Ceritanya bermula saat saya mendapat tugas mulia menilai video pembelajaran UKIn PPG. Sebagai penguji, saya duduk di depan laptop, menyiapkan kopi, membuka file, dan mengira yang akan saya tonton adalah parade teknologi pendidikan: guru menulis di papan digital, siswa memegang tablet, atau minimal LCD proyektor yang masih hidup lampunya. Namun yang muncul di layar membuat saya berhenti menyeruput kopi.
Ruang kelasnya berdinding bambu. Atapnya rumbia. Plafon ruang guru? Sepertinya sudah berdoa setiap hari agar tidak jatuh tepat di kepala orang yang sedang tanda tangan rapor. Di tengah kelas, papan tulis miring dengan kapur yang sudah patah tiga kali. Tidak ada AC, tidak ada kipas angin, dan suara ayam jantan dari luar ikut menjadi backsound pembelajaran IPA.
Saya tidak bercanda. Itu bukan film dokumenter tentang sekolah jaman Belanda. Itu rekaman tahun 2025, di sebuah SMP negeri di pelosok Indonesia Timur.
Bagi kita yang hidup di Jawa atau Bali, mungkin sulit membayangkan. Di sini, gedung sekolah berdiri tegak, temboknya dicat ulang tiap tahun, bahkan ada yang memasang *CCTV* di kelas. Di sana, temboknya adalah anyaman bambu yang bolong di beberapa sisi, membuat matahari dan angin bebas masuk seperti mahasiswa *senior* yang tak pernah diminta izin.
Kita di kota punya masalah sekolah yang terlalu sibuk mengejar akreditasi "A" agar terpampang manis di papan depan. Di sana, mereka sibuk mengejar papan tulis agar tidak roboh diterpa angin sore. Kita di sini sibuk mengganti kurikulum: dari KTSP, ke Kurikulum 2013, lalu Merdeka Belajar. Di sana, mereka bahkan belum selesai dengan KTSP---bukan karena tidak mau berubah, tapi karena buku pegangan kurikulum baru saja tidak pernah sampai.
Ironisnya, dari kantor pusat pendidikan di Jakarta, kebijakan turun rata: semua harus ikut kurikulum terbaru. Ibaratnya, Anda menyuruh orang makan sushi di kampung yang bahkan belum punya kulkas.
Sarana dan prasarana adalah kata-kata indah yang suka muncul di proposal atau pidato pejabat. Di lapangan, sarana itu bisa berarti "kursi plastik yang sudah retak" dan prasarana adalah "atap bocor yang membuat anak-anak pindah duduk tiap kali hujan." Sementara di brosur kementerian, semuanya tampak seragam: gedung sekolah tiga lantai, perpustakaan dengan rak besi, laboratorium IPA lengkap dengan mikroskop. Brosur itu entah dicetak untuk sekolah siapa.
Yang membuat hati saya campur aduk adalah semangat guru-guru di sana. Dalam video yang saya tonton, guru berdiri di depan papan bambu, menjelaskan materi dengan suara yang mengalahkan angin. Tidak ada infokus, tidak ada laptop, hanya kapur dan tekad. Murid-murid duduk di bangku kayu yang sebagian kakinya dipasangi batu bata supaya tidak goyah. Mereka mencatat dengan serius, meski kadang harus menyapu debu yang jatuh dari atap rumbia.
Saya membayangkan jika guru-guru ini dipindahkan ke sekolah perkotaan dengan segala fasilitasnya, mereka mungkin bisa membuat NASA membuka kantor cabang di sana.