Tentu saja, para petinggi pendidikan kita punya segudang alasan. "Itu tanggung jawab pemerintah daerah." "Dana BOS sudah disalurkan." "Kami sedang membangun, tunggu giliran." Dan alasan favorit saya: "Kita sedang melakukan pemerataan." Entah pemerataan itu maksudnya meratakan tanah untuk bangunan yang belum jadi-jadi, atau meratakan harapan agar semua sekolah, mau di kota atau di pelosok, sama-sama merasa "belum cukup."
Saya jadi teringat iklan layanan masyarakat di TV, yang memperlihatkan anak-anak di Papua berjalan kaki berkilo-kilo meter, melewati bukit dan sungai, demi sekolah. Pesan iklannya: mereka punya semangat tinggi untuk belajar. Pesan yang terselip: kita, para penonton di kota, tidak usah khawatir, mereka baik-baik saja. Padahal kalau kita mau jujur, yang seharusnya bikin kita bangga bukanlah "mereka mau berjuang walau sulit", tapi "kita berhasil membuat mereka tidak perlu berjuang sejauh itu hanya untuk belajar."
Saya membayangkan seandainya menteri pendidikan tiba-tiba turun tanpa pengawalan, masuk ke kelas berdinding bambu itu, lalu mencoba mengajar di sana. Mungkin baru lima menit, beliau akan paham bahwa kata "transformasi digital" yang sering disebutnya di podium, akan terdengar seperti lelucon. Di kelas itu, transformasi digital artinya "mengubah tulisan kapur jadi foto pakai HP pinjaman, lalu mengirimnya lewat WA ke siswa yang absen."
Kurikulum Merdeka? Di sana yang merdeka bukanlah metode belajar, tapi angin yang masuk lewat celah dinding. Profil Pelajar Pancasila? Mereka sudah hafal sejak kecil, karena kehidupan sehari-hari mereka memang gotong royong dan kerja keras---dua hal yang sering kita di kota pelajari dari modul, tapi jarang kita lakukan.
Kalau mau jujur, ketimpangan pendidikan ini seperti dua dunia yang berjalan paralel. Di satu sisi, ada dunia sekolah yang sibuk mengundang pembicara internasional, memakai proyektor 4K, dan membicarakan "AI untuk pendidikan." Di sisi lain, ada dunia sekolah yang bahkan listriknya hanya nyala siang hari karena malamnya dipakai bergantian dengan rumah warga.
Kita menyebut semua itu "Indonesia." Kita bersorak kalau ranking PISA naik dua digit, lalu cepat-cepat klaim bahwa itu hasil kurikulum baru. Padahal, murid di kelas berdinding bambu itu mungkin belum pernah ikut tes PISA, dan kalaupun ikut, hasilnya tidak akan masuk perhitungan, karena jarak tempat tes dengan sekolah mereka bisa dua hari perjalanan.
Yang membuat satire ini menjadi lengkap adalah kenyataan bahwa sebagian dari kita percaya masalah ini akan hilang dengan sendirinya. Bahwa seiring waktu, akan ada jalan aspal masuk ke desa, internet gratis, dan gedung sekolah beton. Kita lupa bahwa waktu hanya memperbaiki hal-hal yang memang dikerjakan, bukan yang dibiarkan.
Di kota, kita terlalu sibuk memperdebatkan apakah PR itu perlu atau tidak, sementara di pelosok sana, anak-anak bahkan tidak punya buku tulis yang cukup. Kita berdebat soal *full day school*, sementara di sana, *half day school* saja sudah mewah, karena sore hari mereka harus membantu orang tua di kebun.
Saya tidak sedang mengajak kita untuk bersedih berlebihan atau menggelar aksi galang dana di media sosial. Saya hanya ingin kita berhenti berpura-pura bahwa "pendidikan kita sama di seluruh negeri." Karena kalau kita berani membuka mata, kita akan melihat bahwa Indonesia Timur bukan kekurangan semangat belajar, melainkan kekurangan keadilan.
Dan saya tidak bicara keadilan abstrak. Saya bicara kursi yang tidak patah saat diduduki. Papan tulis yang tidak jatuh saat dipakai. Atap yang tidak bocor saat hujan. Buku yang sesuai kurikulum terbaru. Internet yang tidak perlu menunggu cuaca cerah.
Beberapa tahun lalu, ada kampanye yang bunyinya "Sekolah adalah rumah kedua." Kalau itu benar, maka sekolah di pelosok itu adalah rumah kedua yang butuh renovasi darurat. Bukan hanya demi akreditasi, tapi demi rasa hormat kita pada anak-anak yang sudah mau duduk rapi di sana, meskipun kursinya goyang dan anginnya kencang.
Kalau hari ini kita masih membiarkan mereka belajar di bawah plafon yang nyaris jatuh, kita tidak sedang mendidik. Kita hanya sedang menunda hari di mana kita akan berkata, "Ah, dulu memang sulit, tapi sekarang sudah bagus." Dan kalimat itu, seperti semua janji pembangunan yang tak kunjung datang, hanya akan terdengar manis di telinga kita sendiri.
Jadi kalau suatu hari Anda berkunjung ke sekolah berdinding bambu itu, jangan kaget kalau murid-murid menyambut Anda dengan senyum lebar. Mereka tidak tahu bahwa di tempat lain, anak-anak seumur mereka belajar dengan AC, internet, dan laboratorium. Dan mungkin, lebih baik begitu. Karena di negeri ini, kadang kebodohan kecil justru menyelamatkan dari kekecewaan besar.