Abu Nawas mendekat, lalu berkata pelan, "Bukti itu bukan selembar surat, bukan pula saksi. Bukti itu adalah sebuah hadiah yang akan membuktikan betapa jujurnya saudaraku."
Hakim itu makin tertarik. "Di mana hadiahnya?"
"Di rumahku," jawab Abu Nawas, "tapi hanya akan kuberikan setelah Yang Mulia membacakan putusan yang adil."
Maka mulailah permainan. Hakim itu membaca berlembar-lembar dokumen, mendengarkan saksi-saksi. Tapi pikirannya sudah terbang ke rumah Abu Nawas: hadiah apakah yang begitu berharga? Emas? Permata? Atau barang antik dari negeri jauh?
Ketika tiba waktunya memutuskan, hakim itu berkata lantang, "Setelah menimbang segala bukti, aku memutuskan: tanah itu sah milik saudagar ini."
Ruang sidang riuh. Saudagar itu bersyukur, dan Abu Nawas tersenyum tenang. Hakim itu pun segera memanggilnya, "Sekarang, bawa aku ke rumahmu."
Abu Nawas mengangguk. Mereka berjalan bersama, diikuti mata penasaran orang-orang kota. Sesampainya di rumah sederhana itu, Abu Nawas mempersilakan hakim duduk di bale bambu yang agak reot.
"Mana hadiahnya?" desak hakim.
Abu Nawas menatapnya lekat-lekat, lalu berkata, "Hadiah itu, Yang Mulia, adalah kepuasan melihat seorang hakim akhirnya memutuskan perkara dengan adil tanpa disuap."
Hening.
Wajah hakim memerah. Ia baru sadar telah terperangkap. Tak ada emas, tak ada permata. Hanya sebuah cermin: tamaknya sendiri.
"Apakah kau berani mempermainkanku?" bentaknya.