Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasib Rakyat Indonesia: Membaca Kwik Kian Gie dalam Senyap Zaman

30 Juli 2025   09:33 Diperbarui: 30 Juli 2025   09:33 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : beritasatu.com


Saya menulis ini, karena saya kagum pada  Bapak Kwik Kian Gie, yang baru saja meninggalkan kita semua, artikelnya sangat saya tunggu di harian kompas ketika menjadi mahasiswa dulu.

Kwik Kian Gie  ( 11 Januari 1935 -- 28 Juli 2025) adalah ekonom dan politikus Indonesia keturunan Tionghoa. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1999--2000), Kepala Bappenas (2001--2004), serta Wakil Ketua MPR pada 1999. Sebagai ekonom terkemuka, ia dikenal melalui tulisan-tulisannya di harian Kompas yang kritis terhadap kebijakan Soeharto pada akhir 1980-an hingga 1990-an. Selain aktif sebagai fungsionaris PDI-Perjuangan, Kwik juga berkontribusi di dunia pendidikan dengan mendirikan Institut Bisnis dan Informatika Indonesia.

Lahir sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara pasangan Kwik Hway Gwan, seorang pengusaha hasil bumi, Kwik melewati masa kecil penuh tantangan. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, ayahnya ditahan dan pabrik keluarga disita. Ibunya kemudian membawa anak-anaknya pindah ke Semarang, di mana Kwik sempat tiga kali berganti sekolah dasar. Setelah Jepang menyerah, ayahnya dibebaskan, dan keluarga mereka menempati rumah bekas milik Jepang.

Pendidikan menengahnya ditempuh di Chinese English School Semarang, lalu SMP Masehi Pancol. Saat kelas tiga SMA, Kwik pindah ke Surabaya karena menjabat Ketua Pusat Perhimpunan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia. Tidak menemukan SMA yang sesuai, ia mendirikan SMA Erlangga Surabaya dengan bantuan dua dermawan, merekrut guru terbaik, hingga sekolah itu mencatat kelulusan 98%. Ia lulus pada 1955.

Tahun yang sama, Kwik masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia, namun karena kendala bahasa Belanda, ia pindah ke Fakultas Ekonomi. Pada Juli 1956, ia berhasil lulus ujian persiapan untuk melanjutkan studi ke Nederlandsche Economische Hogeschool di Belanda.

Ada sebuah buku yang ditulis dengan nada lirih sekaligus getir: *Nasib Rakyat Indonesia dalam Era Kemerdekaan*. Penulisnya, Kwik Kian Gie, bukan seorang sastrawan. Ia ekonom, teknokrat, pernah berada di lingkar kekuasaan, lalu tersisih. Ia menulis bukan untuk memoles kata, melainkan untuk menggerakkan hati dan pikiran: tentang sebuah republik yang lahir dengan gegap gempita, namun menyisakan rakyat yang tetap terengah.

Membaca buku ini, kita seperti bercermin. Cermin yang tidak selalu menyenangkan, karena memantulkan wajah yang mungkin enggan kita akui. Di balik retorika merdeka, di balik kibaran bendera, Kwik mengajukan pertanyaan sederhana sekaligus mendasar: apa arti kemerdekaan, bila jutaan rakyat masih merangkak di pinggir jalan sejarah?
Kwik memulai dari luka lama: bahwa sejak awal, negeri ini mewarisi ketimpangan yang terlalu besar. Tanah subur, gunung hijau, laut kaya --- namun buahnya jatuh ke pangkuan segelintir. Kolonialisme pergi, tetapi struktur yang ditinggalkannya seperti bangunan tua yang kukuh: siapa yang punya modal, ia berkuasa.

Kita ingat, di tahun-tahun awal republik, ada semangat membagi kue, ada janji membangun dengan adil. Tapi, seperti catatan Kwik, janji itu pelan-pelan larut. Pembangunan ekonomi menjadi jargon, tapi wajahnya tak ramah. Industri berdiri, jalan tol membentang, gedung-gedung kaca memantulkan cahaya, namun di baliknya petani tetap bertanya: untuk siapa semua ini?

Kwik menulis dengan bahasa ekonom, tapi di bawah lapisan angka dan grafik, ada keresahan seorang manusia. Ia bertanya: mengapa pertumbuhan selalu jadi ukuran, sementara distribusi nyaris terlupakan? Mengapa yang dikejar hanya persentase PDB, bukan perut kenyang anak-anak desa?

Mungkin kita bisa mengingat kalimat Goenawan Mohamad di *Catatan Pinggir*: "Politik seringkali hanya memindahkan penderitaan dari satu wajah ke wajah lain." Membaca Kwik, kalimat itu seperti bergaung kembali. Sebab, di balik semua pergantian rezim, dari Sukarno ke Soeharto, dari Soeharto ke reformasi, rakyat jelata tetap harus bekerja dengan keringat yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun