Satu sore, di musim gugur 2018, dua bayi perempuan lahir di sebuah rumah sakit di Tiongkok. Nama mereka Lulu dan Nana (bukan nama sebenar) . Mereka tidak berbeda secara kasatmata dari bayi-bayi lain. Menangis, menggeliat, dan menggenggam jemari ayah-ibunya seperti bayi mana pun. Tapi mereka bukan bayi biasa. Dalam sunyi laboratorium di Shenzhen, seorang ilmuwan bernama He Jiankui telah mengedit gen mereka sebelum mereka lahir---menghapus satu bagian kecil dari DNA mereka dengan harapan membuat mereka kebal terhadap HIV. Dunia terdiam, lalu gaduh.
Di sinilah kita hari ini: di ambang pergeseran besar dalam sejarah manusia---bukan sekadar peradaban, tapi spesies.
CRISPR, yang namanya terdengar seperti merek sereal, adalah singkatan dari Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats. Sebuah teknologi genetik yang ditemukan tidak dengan niat mengubah umat manusia, melainkan saat para ilmuwan mencoba memahami bagaimana bakteri melawan virus. Bahwa dari kekacauan mikroskopis itu kita menemukan alat untuk mengedit gen seperti memotong dan menempel kata-kata dalam dokumen digital, terasa ironis---atau tragis, tergantung dari sudut mana kita melihatnya.
Kevin Davies dalam bukunya Editing Humanity mengajak kita masuk ke dalam kisah ini. Bukan sebagai jurnalis biasa, tapi sebagai peneliti yang bergulat dalam jaringan ilmiah dan etis yang rumit. Ia tak hanya menyusun kronik para pionir seperti Jennifer Doudna dan Emmanuelle Charpentier, yang pada akhirnya meraih Hadiah Nobel, tapi juga menyentuh perbincangan yang jauh lebih dalam: apakah manusia masih bisa disebut manusia jika tubuhnya bisa dimodifikasi seperti perangkat lunak?
Saya ingat satu kalimat dari Doudna dalam wawancaranya: "Ketika saya bermimpi ada Hitler yang datang kepada saya, meminta saya mengedit gen." Kalimat itu menggema seperti doa yang tak dijawab: ketakutan, sekaligus pengakuan akan potensi.
CRISPR adalah pisau bedah yang sangat presisi. Ia bisa menghapus, menambal, bahkan menyisipkan gen baru. Bisa memperbaiki penyakit genetik seperti anemia sel sabit atau distrofi otot. Tapi juga bisa---secara teoritis---mengubah warna mata, tinggi badan, atau kecerdasan. Keajaiban sains dan ambisi eugenika terbungkus dalam satu alat.
Kita telah sampai pada zaman ketika tubuh bukan lagi takdir. DNA yang dulu dianggap sebagai kitab suci biologi kini bisa ditulis ulang. Tetapi sebagaimana yang terjadi pada setiap kitab suci, siapa yang memegang pena, akan menentukan tafsirnya.
Lihatlah perusahaan-perusahaan bioteknologi yang bermunculan di Boston, San Francisco, dan Beijing. Mereka menjanjikan masa depan bebas penyakit, memperpanjang usia, bahkan---secara samar---keabadian. Manusia akan menjadi proyek. Kelahiran, bukan lagi peristiwa alami, tapi hasil rekayasa.
Namun, seperti kata Harari dalam Homo Deus, tak ada makan siang gratis di dunia ini. Jika kelak manusia dapat memilih gen bayinya---lebih pintar, lebih kuat, lebih cantik---maka mereka yang tidak mampu akan tertinggal. Evolusi pun berubah bentuk: bukan lagi seleksi alam, melainkan seleksi sosial.