Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Setelah Stimulus Turun :Lebih Lega atau Sesak?

15 Juli 2025   13:31 Diperbarui: 15 Juli 2025   13:31 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : tribunnews

Ada yang bilang, hidup di negeri ini seperti naik angkot di tengah hujan deras---sudah sempit, bocor pula. Tapi mendadak, supirnya kasih diskon. Lumayan, bukan? Tapi, ya tetap basah juga. Itulah kira-kira gambaran bantuan stimulus yang dibagikan pemerintah menjelang dan selama libur sekolah Juni--Juli 2025 ini.

Diskon tiket kereta api kelas ekonomi sebesar 30 persen. PPN tiket pesawat kelas ekonomi ditanggung pemerintah sebesar 6 persen. Diskon tarif kapal penumpang 50 persen. Bahkan, bantuan sosial dan subsidi upah untuk beberapa kelompok rumah tangga. Dalam paket ini, total anggaran yang digelontorkan negara mencapai Rp940 miliar. Angka yang tak main-main.

Tapi mari kita tarik napas sejenak, dan bertanya dalam hati: setelah diskon ini turun, apakah hidup terasa lebih ringan? Atau hanya seperti angin sejuk yang lewat sebentar, lalu pergi meninggalkan panas yang tetap tak tertahankan?

Stimulus: Sapu Tangan di Tengah Badai

Pemerintah, tentu, tidak tinggal diam. Dalam beberapa tahun terakhir, sejak pandemi mengamuk dan inflasi menyergap, negara ibarat seorang ayah yang mencoba membagi roti tipis untuk banyak anak. Dari subsidi BBM, BLT, bantuan pangan, hingga stimulus transportasi seperti sekarang. Tujuannya baik: agar konsumsi tak turun, agar mobilitas tetap bergerak, agar pasar tetap bernapas.

Namun di lapangan, kita tahu, urusan hidup tak semudah menyusun angka dalam tabel anggaran.

Mari kita dengar suara-suara dari ujung gang, dari rumah-rumah kontrakan yang lampunya remang karena tagihan listrik ditahan dulu. Seorang buruh pabrik di Bekasi bilang: "Diskon tiket kereta memang ada, tapi saya tak punya uang buat mudik juga. Yang penting makan anak-anak dulu." Seorang ibu rumah tangga di Makassar mengeluh: "Harga beras naik terus, Pak. Bantuan beras 10 kilo itu habis dalam seminggu. Minggu berikutnya, kami kembali bergulat."

Maka di sinilah pertanyaan penting muncul: stimulus ini, apakah menyentuh akar persoalan rumah tangga?

Mobilitas atau Kebutuhan Dasar?

Harus diakui, diskon transportasi menyasar lapisan masyarakat yang ingin berpindah tempat. Tapi bagaimana dengan mereka yang tak punya tempat untuk berpindah? Tak bisa libur, tak bisa rekreasi, bahkan tak tahu kapan gajian berikutnya. Diskon PPN tiket pesawat, misalnya, terdengar mewah bagi sebagian keluarga urban menengah ke bawah.

Cobalah tanya mereka yang tinggal di rusun atau kampung padat. Mereka akan bilang: "PPN pesawat itu diskon untuk orang kaya, Pak. Kami tidak ke bandara. Kami antre di puskesmas."

Begitu pula dengan subsidi upah yang sifatnya terbatas, dan bantuan pangan yang kadang tersendat distribusinya. Masalahnya bukan sekadar jumlah bantuan, tapi relevansi dan daya sentuhnya ke isi dapur orang banyak.

Stimulus akan berdampak kalau menyentuh denyut nadi rumah tangga: biaya makan, listrik, pendidikan anak, ongkos kerja harian. Jika itu tak disentuh, diskon sebesar apa pun hanya terasa seperti tempelan plester pada luka dalam.

Apakah Rakyat Hanya Ingin Diskon?

Mari kita jujur. Rakyat Indonesia bukan peminta-minta. Mereka bekerja keras. Mereka hanya ingin sistem yang adil. Jika gaji tak naik, setidaknya harga jangan melonjak. Jika pekerjaan tak bertambah, setidaknya jangan ditambah pajak dan pungutan. Jika bantuan turun, setidaknya jangan dibatasi hanya pada musim tertentu.

Di titik ini, kita melihat problem utama: stimulus berbasis waktu dan peristiwa. Menjelang lebaran, menjelang libur sekolah, menjelang pemilu. Tapi kemiskinan dan kesulitan hidup itu tidak musiman. Ia menetap, seperti tagihan kontrakan.

Program stimulus memang baik, tapi perlu bergeser dari pendekatan musiman ke pendekatan struktural. Bukan hanya diskon sesaat, tapi perbaikan jangka panjang pada infrastruktur sosial: jaminan kesehatan, pendidikan murah, harga pangan stabil, dan perlindungan kerja yang layak.

Kendala: Komunikasi, Distribusi, dan Kepercayaan

Stimulus yang dirancang baik pun bisa gagal bila komunikasinya buruk. Banyak warga tidak tahu bahwa ada diskon tiket kereta. Banyak yang tak paham cara mengakses subsidi. Informasi terbatas di kanal-kanal digital yang tidak semua orang punya.

Kedua, distribusi bantuan sering kali lambat dan tidak merata. Di beberapa daerah, bantuan pangan datang terlambat atau tidak sesuai dengan jumlah yang dijanjikan. Dan ketiga, masalah besar yang mengakar: kepercayaan masyarakat.

Banyak orang skeptis. "Ah, bantuan ini cuma pencitraan," kata seorang sopir ojek di Denpasar. "Paling juga buat foto-foto pejabat di TV."

Rakyat ingin sesuatu yang nyata, bukan sekadar simbol. Mereka ingin dampak, bukan seremoni.

Solusi: Dengarkan yang Tak Terdengar

Bro, kalau kau tanya, "Apa yang bisa dilakukan?" Maka jawabannya sederhana, tapi tak mudah: dengarkan suara yang tak terdengar. Dengarkan ibu-ibu yang mengatur uang belanja harian. Dengarkan sopir angkot, petani kecil, pedagang kaki lima.

Mereka tak minta bantuan terus-menerus. Tapi mereka minta sistem yang mendukung. Pendidikan yang tak memiskinkan. Kesehatan yang bisa diakses tanpa utang. Harga pangan yang masuk akal.

Stimulus boleh tetap ada, tapi harus dibarengi dengan reformasi menyeluruh. Bukan hanya meringankan sesaat, tapi memperkuat daya hidup masyarakat untuk jangka panjang.

Juga, alangkah baiknya jika stimulus didesain dengan partisipasi warga. Survei yang benar-benar menyentuh kelas bawah. Bukan hanya laporan akademik yang jauh dari realita pasar tradisional.

Dan tolong, untuk stimulus transportasi, jangan hanya pikirkan pesawat. Perhatikan angkot, bus kota, dan moda harian rakyat pekerja. Mereka tak perlu terbang, Bro. Mereka cukup ingin bergerak.

Hidup Setelah Stimulus: Sedikit Lega, Tapi Belum Bebas

Lalu bagaimana setelah stimulus diterima? Ya, ada yang merasa sedikit lebih lega. Bisa pulang kampung, bisa beli beras tambahan, bisa bayar listrik yang sempat tertunggak. Tapi "lega" itu hanya seperti angin sejuk di siang bolong---sebentar saja.

Besok pagi, kembali harus berjuang. Harga cabe masih naik. Biaya sekolah anak masih tinggi. Dan pekerjaan masih belum pasti.

Stimulus semestinya menjadi jembatan menuju hidup yang lebih baik, bukan sekadar jeda dari penderitaan. Ia harus jadi awal, bukan penutup.

Penutup: Negara Seharusnya Seperti Ibu

Bro, saya ingin tutup dengan satu analogi sederhana. Negara yang baik itu seperti ibu: tahu isi dapur, tahu kapan anaknya lapar, dan tahu bahwa cinta tak bisa digantikan dengan sekadar diskon.

Bantuan itu perlu, tapi jangan berhenti di situ. Rakyat butuh pegangan yang lebih dari sekadar promo. Mereka butuh arah. Mereka butuh harapan.

Dan semoga stimulus ini---meski sementara---setidaknya bisa jadi pintu masuk untuk mendengarkan lebih dalam, bergerak lebih jauh, dan menyentuh yang benar-benar dibutuhkan.

Catatan Kaki:
Jika di rumahmu pagi ini nasi masih ada, anak-anak bisa tertawa, dan tagihan belum jatuh tempo---berterima kasihlah. Karena di luar sana, banyak yang hidupnya masih bergantung pada diskon yang entah datang, entah tidak.

Kalau negara belum bisa membuat semua orang sejahtera, setidaknya jangan membuat mereka harus berdiri terlalu lama di antrean sembako.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun