Program Asistensi Mengajar (AM) yang dilaksanakan oleh Universitas Negeri Malang (UM) merupakan bagian dari implementasi kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program ini bertujuan untuk memberikan pengalaman nyata kepada mahasiswa dalam dunia pendidikan, sekaligus berkontribusi langsung terhadap proses pembelajaran di sekolah mitra. Salah satu pengalaman bermakna dalam program ini terjadi di SMKN 3 Malang, khususnya pada kelas XI DPB WU 2, di mana mahasiswa asistensi mengajar mengembangkan sebuah media pembelajaran berbasis praktik, yakni pembuatan batik cap dengan menggunakan canting cap dari limbah kertas.
Pembuatan batik merupakan bagian dari mata pelajaran keterampilan pada Program Keahlian Desain Produksi Busana (DPB). Dalam praktiknya, teknik batik cap menjadi salah satu teknik yang diajarkan karena relatif lebih cepat dan konsisten dibanding batik tulis. Namun, dalam pelaksanaan di sekolah, terdapat keterbatasan alat produksi, terutama canting cap konvensional yang berbahan logam dan berharga cukup mahal. Di sisi lain, penting pula bagi siswa untuk memahami konsep keberlanjutan dan pemanfaatan limbah dalam proses desain dan produksi busana.
Melihat tantangan tersebut, mahasiswa asistensi mengajar dari Universitas Negeri Malang merancang sebuah inovasi pembelajaran berupa canting cap ramah lingkungan yang terbuat dari limbah kertas. Inovasi ini bertujuan tidak hanya untuk mengatasi keterbatasan alat, tetapi juga menanamkan nilai kreativitas, keberlanjutan, dan problem solving pada siswa.
Tahapan awal kegiatan dimulai dari observasi kebutuhan pembelajaran dan diskusi bersama guru mata pelajaran di kelas XI DPB WU 2. Ditemukan bahwa pembelajaran batik cap selama ini masih bersifat demonstratif karena keterbatasan alat, sehingga keterlibatan aktif siswa dalam praktik masih kurang optimal. Berdasarkan hasil diskusi tersebut, mahasiswa asistensi mengusulkan penggunaan canting cap buatan sendiri dari bahan limbah kertas, khususnya kardus bekas dan kertas karton, sebagai solusi pembelajaran yang murah, mudah dibuat, dan edukatif.
Desain canting cap dikembangkan dengan mempertimbangkan prinsip ergonomi dan daya tahan. Motif-motif sederhana seperti garis geometris, flora, dan bentuk simetris dipilih agar dapat dicetak secara stabil meski menggunakan bahan yang lebih lunak dibanding logam. Prototipe canting cap dibuat oleh mahasiswa dengan bantuan siswa secara kolaboratif. Selama proses ini, siswa diajak untuk mengeksplorasi bentuk dan motif yang akan dicetak, sekaligus memahami bagaimana alat produksi dapat diciptakan dari bahan daur ulang.
Kegiatan praktik pembuatan batik cap dilaksanakan dalam beberapa sesi. Pertama-tama, siswa dikenalkan pada konsep batik cap dan prinsip kerja canting cap berbahan limbah kertas. Mahasiswa asistensi memberikan demonstrasi cara membuat canting cap serta penggunaannya dalam membatik. Setelah itu, siswa diminta untuk merancang motif, membuat canting cap mereka sendiri, dan mencoba mencetak motif tersebut pada kain mori menggunakan malam (lilin batik) yang telah dipanaskan.
Suasana kelas menjadi sangat dinamis dan interaktif. Siswa terlihat antusias dalam menciptakan alat mereka sendiri dan melihat hasil motif batik buatan mereka muncul di atas kain. Meskipun ada tantangan teknis, seperti malam yang terlalu panas atau cetakan yang kurang presisi, siswa mampu menyelesaikannya dengan diskusi dan evaluasi bersama. Proses ini secara tidak langsung mengajarkan keterampilan berpikir kritis dan kerja sama tim.
Hasil dari kegiatan ini tidak hanya berupa kain batik cap hasil karya siswa, tetapi juga peningkatan pemahaman mereka terhadap proses produksi batik dan pentingnya inovasi dalam keterbatasan sumber daya. Siswa belajar bahwa proses berkarya tidak selalu membutuhkan alat mahal, tetapi bisa dimulai dari apa yang ada di sekitar. Limbah kertas yang semula dianggap tidak berguna, dapat diubah menjadi alat bantu produktif yang mendukung proses belajar.
Selain aspek kognitif dan psikomotorik, kegiatan ini juga menyentuh ranah afektif. Siswa menunjukkan rasa bangga terhadap hasil karya mereka, dan beberapa bahkan menyatakan keinginan untuk mengembangkan motif batik sendiri di luar jam pelajaran. Guru pengampu menyampaikan bahwa pendekatan ini membawa suasana baru yang lebih segar dan aplikatif dalam pembelajaran desain dan produksi busana.
Bagi mahasiswa asistensi mengajar, pengalaman ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana menjadi fasilitator pembelajaran yang kreatif dan adaptif. Mereka belajar menyusun media pembelajaran kontekstual, mengelola kelas secara aktif, serta membangun komunikasi yang baik dengan guru dan siswa. Tantangan di lapangan menjadi ajang pembelajaran langsung yang sangat berharga bagi calon pendidik.
Pengalaman asistensi mengajar di SMKN 3 Malang, khususnya pada kelas XI DPB WU 2, memberikan gambaran bahwa pembelajaran kejuruan dapat menjadi lebih bermakna jika diintegrasikan dengan nilai-nilai keberlanjutan, kreativitas, dan partisipasi aktif siswa. Inovasi penggunaan canting cap dari limbah kertas merupakan solusi sederhana namun efektif dalam menjawab keterbatasan alat sekaligus mengajarkan kesadaran lingkungan kepada siswa.