Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Tiny House" di Indonesia dan Bias Kita Memaknai Harta

27 April 2021   10:45 Diperbarui: 28 April 2021   15:30 3693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiny House - Ilutrasi oleh N. Setia Pertiwi

Tren tiny house yang merajalela di segala penjuru dunia, tampaknya seru dan luar biasa. Tapi, bagaimana dengan tiny house di Indonesia? Benarkah keterbatasan, justru dapat membebaskan? Bahas, yuk.

***

Salam takzim kepada Anda yang menjalani hidup minimalis dan esensialis.

Mari kita bicara tentang tiny house.

Pertama, apakah perlu kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia? Rumah kecil? Rumah mini? Rumah mungil? Atau, rumah kecil sekali?

Hm, sepertinya kurang tepat. Kita sebut saja tiny house. Lagipula, istilah tiny house sudah semakin populer. Bahkan, tiny house movement telah menyebar begitu cepat di segala penjuru dunia.

Dan, bersama dengan gerakan global tersebut, tiny house kini memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar rumah tinggal berukuran kecil. Memiliki tiny house menjadi sebuah konsep dan personal statement, yang menjelaskan prinsip dan gaya hidup seseorang.

Gaya hidup seperti apa? Mari kita bahas lebih mendasar.

Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com
Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com

Apa itu tiny house?

Sebenarnya, tidak ada definisi baku atau formal yang dapat kita gunakan untuk mendefinisikan tiny house. Tapi, umumnya, tiny house berupa rumah berukuran kecil, dengan luas kurang dari 30 m. 

Ada tiny house yang menggunakan pondasi, ada pula yang dibangun di atas trailer (tiny house on wheels), sehingga memudahkan kalau mau pindah-pindah rumah, bahkan dibawa traveling!

THOW (Tiny House on Wheels) - Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com
THOW (Tiny House on Wheels) - Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com

Hanya saja, tiny house tidak dapat kita maknai dari tampilan dan ukurannya.

Kalau sekadar rumah kecil dan sempit, di Indonesia pun ada, bahkan banyak sekali. Kontrakan petak, satu unit rumah susun, rumah mungil di gang, atau apartemen tipe studio, juga punya ukuran yang sama seperti tiny house.

Tapi, tiny house punya magis yang berbeda.

Mereka yang hidup di tiny house, secara sadar, memilih rumah berukuran mungil untuk mereka tinggali. Istilahnya, micro living. Jadi, bukan terpaksa karena tidak mampu membeli yang berukuran besar.

Dan, meski ada pula yang ingin mendapatkan rumah dengan harga lebih terjangkau, setidaknya mereka dapat memaknainya sebagai gaya hidup yang merdeka dan esensial.

Mereka merasa tentram dan tidak berangan-angan menjalani hidup ala sultan. Tawaduk.

Karena itu, jika kita mengulik kanal Youtube, Living Big in A Tiny House, kita akan menjadi saksi, bahwa orang-orang yang tinggal di tiny house, justru mengalami peningkatan kualitas hidup. Secara personal, mereka juga orang-orang yang cerdas, berkelas, percaya diri, serta memiliki prinsip yang kuat.

Dengan begitu, mereka benar-benar dapat menghargai, serta mencintai apa dan siapa yang mereka miliki. Bahkan, mereka mampu menjadikan tiny house sebagai suaka yang nyaman, dengan desain yang fungsional dan kustomisasi di mana-mana.

Lebih mahal dari rumah biasa? Bisa jadi. Tergantung kreativitas, kemampuan, dan keinginan penghuni rumah.

Apa yang menarik dari tiny house?

Selain menjadi entitas tunggal, gerakan tiny house yang ada saat ini, biasanya terwujud bersama hal-hal progresif lainnya, seperti:

  • Kehidupan terpencil, dengan lokasi yang cukup jauh dari pusat keramaian dan hiruk-pikuk perkotaan. Membuat waktu serasa melambat, dengan suara burung dan gerimis yang lebih nyaring dari biasa.
  • Berdiri secara independen (off grid), sehingga tidak terhubung dengan fasilitas umum, seperti PDAM dan PLN.
  • Permakultur, untuk mendukung swasembada sayur, buah, tanaman obat, atau bumbu dapur, dengan membuat kebun yang dapat menghasilkan bahan makanan.
  • DIY, do it yourself, alias membuat sendiri, baik rumah atau furnitur, untuk mendukung kustomisasi. Bisa juga berupa produk seni, seperti makrame, lukisan, atau dekorasi lain yang menunjukkan identitas dan selera pemiliknya.
  • Ramah lingkungan, karena dapat meminimalisir emisi karbon dari pembangunan rumah. Selain itu, tiny house di area terpencil, biasanya juga memakai instalasi ramah lingkungan, seperti panel surya untuk menghasilkan listrik, toilet kompos, dan takakura.

Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com
Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com

Bagaimana desain interior tiny house?

Tiny house telah menjadi bagian dari persona pemiliknya. Karena itu, tiny house penuh dengan sentuhan personal, baik eksterior maupun interiornya. Jadi, tentu akan berbeda-beda.

Tapi, umumnya, desain tiny house memiliki beberapa kesamaan, yaitu:

  • Hemat ruang, dengan menggunakan meja lipat, sofa kasur, lemari di bawah tangga, atau furnitur lain yang multifungsi.
  • Memiliki banyak tempat penyimpanan, agar segala barang tetap rapi tersembunyi dan tidak tampak semrawut.
  • Memiliki mezanin, sebagai ruang tambahan, yang umumnya berfungsi sebagai kamar tidur atau ruang baca.
  • Jendela besar dan/atau banyak jendela, untuk menciptakan kesan ruang terbuka, sehingga terasa lebih lapang dan menyatu dengan alam sekitar.
  • Bahan kayu, untuk menghadirkan nuansa rustic dan natural. Meski ada juga yang menggunakan kontainer sebagai eksterior, biasanya aksen kayu tetap jadi favorit untuk interiornya.
  • Toilet kompos, yang tentu saja, akan sulit bagi orang-orang Indonesia yang terbiasa menggunakan air.

Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com
Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com

Apakah tiny house dapat diterapkan di Indonesia?

Bisa. Beberapa arsitek dan desainer milenial asal Indonesia pun ada yang kerap membuat rumah dengan konsep tiny house.

Tapi, mari kita berpikir lebih maknawi terhadap konsep ini.

Baik urusan toilet, mezanin, pengunaan kayu, atau furnitur kustom, hal-hal itu hanya perkara fisik semata, bukan?

Yang perlu kita selami, semangat tiny house tidak terletak pada sewujud rumah mungil itu. Lebih dari sekadar fisik, tiny house menggiring kita pada pola pikir esensial, pemaknaan terhadap harta, rasa terima kasih, dan gaya hidup minimalis yang menjadi atmosfernya.

Jadi, meski tidak berada di lereng pegunungan, tepian danau, atau pinggiran hutan, kita bisa mewujudkan nyawa tiny house di apartemen studio, rumah di gang sempit, hingga kontrakan petak.

Dengan kesadaran penuh terhadap apa-apa yang Tuhan berikan dan apa-apa yang esensial, kita akan merasakan, betapa mewahnya hidup bersahaja.

Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com
Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com

"Kemewahan" hidup ala tiny house

Kesepakatan sosial yang tercermin pada sosok selebritas, slot trending di Youtube, dan euforia publik lainnya, kini tengah mengarah pada popularitas dan kepemilikan harta. Implikasinya, "kesuksesan" dikuantifikasi menggunakan jumlah kekayaan, subscriber, follower, dan semacamnya.

Kondisi tersebut, sama saja dengan mengukur kemampuan koki, dari jumlah makanan yang mereka buat dalam satu hari. Tepatkah?

Karena itu, untuk memahami "kemewahan" hidup ala tiny house, kita perlu mengubah perspektif. Dari perkara lahir dan kuantitas, menjadi batin dan kualitas.

Berikut ini 7 "kemewahan" hidup ala tiny house, yang sangat berharga dan jarang orang lain dapatkan:

  1. Kesempatan mengenal diri sendiri, karena dengan keterbatasan ruang, kita perlu memilah dan memilih. Apa yang benar-benar kita perlukan, dan dapat membantu kita menjalani hidup setiap hari. Kebutuhan dasar itulah, yang lantas mendefinisikan identitas kita yang sejati.
  2. Dekat dengan alam, terutama yang memilih lokasi terpencil dan menjalankan permakultur. Lagipula, tentu akan bosan, mondar-mandir di rumah mungil dan melihat pemandangan yang itu-itu saja. Jadilah, kita akan lebih terpacu untuk beraktivitas di luar ruangan dan merasakan sapaan alam.
  3. Melepaskan keterikatan, pada benda-benda yang sebenarnya tidak pernah kita pakai, tidak kita perlukan, dan dapat digantikan oleh benda lain yang lebih multifungsi.
  4. Menghemat, baik sumber daya, waktu, anggaran, dan tenaga. Bersih-bersih rumah lebih simpel, biaya perawatan rumah lebih sedikit, tidak kesulitan untuk untuk mencari orang lain, dan ramah lingkungan karena penggunaan sumber daya lebih sedikit.
  5. Terlatih berpikir efisien, karena harus mengatur tata ruang dan penyimpanan yang optimal dari segi fungsi, maupun estetika. Begitu pula, dalam menentukan barang yang layak untuk dimiliki dalam jangka panjang.
  6. Hidup lebih esensial, dengan memiliki segala hal yang benar-benar diperlukan saja. Menimalisir ditraksi dari benda-benda, dan fokus pada urusan-urusan yang lebih berarti, abadi, dan fundamental.
  7. Menyederhanakan kebahagiaan, berupa kedekatan dengan keluarga, live in the moment, dan rasa syukur yang berkelindan.

Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com
Sumber: www.livingbiginatinyhouse.com

Manis dan romantis, bukan?

Nah, jika Anda tertarik dengan kehidupan ala tiny house, silakan berselancar di Google, atau menyaksikan kanal Youtube: Living Big in A Tiny House, Tiny House Giant Journey, Tiny House Expedition, Exploring Alternative, dan masih banyak lagi.

Selamat bereksplorasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun