Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

FOMO Vs JOMO, Anda Tipe yang Mana?

25 April 2021   10:22 Diperbarui: 25 April 2021   20:08 2854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOMO vs JOMO - Ilustrasi oleh N. Setia Pertiwi

Tidak harus sempurna, kan. Yang terpenting, kesalahan itu terus mengecil, dan tidak malah menjadi raksasa yang menghalangi kita melihat kenyataan.

Bagaimana cara menghindari FOMO?

FOMO dalam takaran wajar dan terkendali, bisa jadi bukan masalah berarti. Tapi, demi mencegah dampak buruk FOMO yang bergulir dan membesar laiknya bola salju, istilah JOMO hadir untuk melawan.

Apa itu JOMO?

JOMO (Joy of Missing Out), berarti "menikmati ketertinggalan". Istilah ini merujuk pada orang-orang yang ingin hidup lebih selaw, berdamai dengan keadaan, tidak terambisi untuk mengikuti tren, dan bahkan, disertai komitmen untuk menjalani gaya hidup sehat.

Kuncinya, menahan diri untuk tidak selalu memedulikan hal-hal viral, terutama yang tidak berdampak langsung bagi kehidupan sehari-hari. Lebih menikmati rutinitas, menghargai orang-orang sekitar, dan terus memperbaiki kondisi diri sendiri, tanpa membandingkan atau berintensi untuk menjadi lebih tinggi dari orang lain.

Apakah harus menjadi JOMO?

Kita tidak harus menjadi JOMO, karena tidak semua orang bisa merasakan JOMO. Pedagang toko daring, selebgram, spesialis media sosial, dan sebundel pekerjaan lain, membutuhkan respon cepat dan kepedulian tinggi terhadap tren.

Svend Brinkmann dalam The Joy Of Missing Out (2019) juga telah mengingatkan kita agar tidak bergelimang dalam jebakan kaum elit. Wacana-wacana JOMO seputar liburan, menikmati udara segar, menonton film favorit, dan hal-hal selaw lainnya, terlalu mewah untuk dinikmati semua orang, terutama bagi pekerja dan kaum marginal di perkotaan.

Jadi, apakah JOMO masih bisa jadi solusi untuk FOMO?

Bisa iya, bisa tidak, tergantung posisi kita. Jadi, daripada terjebak dalam dikotomi-dikotomi itu, akan lebih baik ...

Mari, jadi manusia saja.

Tidak perlu membatasi diri untuk menjadi pihak yang ekstrem. Tidak perlu menganggap FOMO dan JOMO sebagai biner. Kombinasikan saja, atau abaikan keduanya.

Karena, ketika FOMO kita rasakan sebagai kegelisahan yang eksplisit, obsesi menjadi JOMO pun bisa membuat kita terjebak dalam angan-angan dan mimpi kosong soal hidup yang lebih selaw. Sedangkan, kita masih harus berangkat kerja, bermacet-macetan, dikejar-kejar pelanggan, dan serangkaian perkara yang butuh respon segera.

Sudah, jalani saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun