Akibatnya, kalau kita lihat kondisi saat ini, akan timbul pertanyaan, FOMO disebabkan oleh adiksi media sosial, atau adiksi media sosial disebabkan oleh FOMO?
Mana yang lebih dulu? Bukankah, orang-orang sudah merasakan FOMO, sejak Mark Zuckerberg belum jadi manusia?
Hmm, meskipun ... benar, ada penelitian yang menunjukkan korelasi antara FOMO dan penggunaan media sosial, serta rasa iri yang timbul dalam dunia Facebook. Tapi, dalam perspektif personal saya, media sosial hanya salah satu alat pemantik.
Meski benar bahwa pebisnis digital berupaya memengaruhi penggunanya untuk menjadi FOMO, dan (tentu saja) nomophobia, tapi bahan bakarnya tetap berada dalam diri manusia, yaitu lima hal primordial yang telah disebutkan sebelumnya.
Dan, tidak hanya anak ABG, kita juga, sama-sama punya potensi besar menjadi FOMO.
Apa salahnya menjadi FOMO?
Kalau kita cermati, faktor-faktor penyebab FOMO begitu manusiawi. Apa yang salah dengan rasa ingin tahu dan bersosialisasi?
Bukankah FOMO bisa membuat kita menjadi informan yang baik dan paham dunia luar?
Bukankah FOMO lebih menguntungkan secara finansial, karena bisa tau peluang-peluang investasi, melek teknologi, fast response, dan meraup banyak netijen?
Bukankah menyaksikan kesuksesan orang-orang dapat menjadi motivasi unuk mendapatkan hidup yang lebih baik pula?
Apa salahnya menjadi FOMO? Apa? Apa?
Tunggu.