Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lembah Halimun #10

24 September 2018   18:07 Diperbarui: 25 September 2018   06:42 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbekal pesan Neira, aku menggandeng erat prasangka baik pada alam beserta penghuninya.

Tapi, sebutan kuncen gunung bagai sebulir embun di tengah gurun. Menguap tak ada arti. Berkali-kali, aku hanya tiba pada titik awal pencarian. Kekosongan, ketiadaan, kehampaan.

Beranjak pergi dari kehilangan, menuju kehilangan berikutnya. 

Gubuk Om Jay teronggok layaknya artefak sunyi. Berasal dari masa-masa yang terlampau jauh untuk kembali.

Malam tiba, detak detik di gunung Parung memuai panjang. Aku sering memilih tetap terjaga. Menunggu matahari menepati janji dan terbit lagi. Sekadar menyerakahi kesadaran. Tidur seperti membiarkan waktu dirampas kegelapan.

Ada kalanya, kurelakan lelah yang menang. Ayah datang, turun bersama kabut. 

Dengan gaya khasnya yang elegan, ia duduk di sampingku. Di tepi lembah, kami berbincang hingga pagi. Membangun dialog yang jarang terjadi sejak kesibukan memamah habis dunia kami. Terkadang, jeda kebisuan dan tarikan napas dalam sudah kuanggap saat-saat paling menyenangkan.

Aku selalu memohon untuk tinggal lebih lama. Namun, mimpi buruk hadir ketika nila sudah di ufuk. Dingin menusuk, menguasai tengkuk. Aku terdampar di tanah gersang, terkepung kenyataan. Gamang. Untuk kesekian kalinya, Ayah kembali hilang.

"Ren, bagaimana? Ada pertanda baru?" tanya Yovan.

Aku menggeleng pelan, menatap api unggun. Merasuki perayaan ranting kering yang bebas lepas menjelma abu. Ingin rasanya aku menimbun rasa hangat itu dan menyimpannya di dalam saku.

Eh, tunggu. Sepertinya tidak bisa. Ruang saku sangat terbatas. Aku butuh wadah lebih besar untuk persediaan bagi semua orang. Satu keril mungkin cukup. Untuk Ibu, Ayah, Adikku dan Neira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun