Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Sepatu dan Sandal Gunung

12 September 2018   12:59 Diperbarui: 13 September 2018   17:45 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terus saja jalan, nanti aku menyusul.

***

Aku penghuni gedung yang tak pernah kamu lewati. Sedangkan kamu menggemari gunung yang tak pernah aku daki. Langit sore kita tidak sama, tapi purnama masih serupa.

Lagipula, jarak meretas lantaran dunia seperti kertas. Berlipat-lipat dalam telepon genggam yang tak pernah lepas. Mengaitkan kita pada sinyal-sinyal menara. Aku mengenal kamu sebatas aksara. Kamu melihat aku sebagai cerita. Tidak pernah ada suara dan rasa belum bicara.

Di akhir pekan, aku memeluk hingar bingar. Duduk sendirian di antara orang-orang yang bergandengan. Menjadi asing dan diam di sudut ruangan. Seorang pelayan bertanya, tapi aku tidak ingat mau memesan apa atau menunggu siapa. Aku menatap daftar menu dan menunjuk satu. Lalu kembali menatap buku.

Hanya sesekali, aku berselancar menuju kamu. Menikmati puncak-puncak di mana kamu meninggalkan jejak dan menanggalkan rasa cemas.

Kelak kamu tahu, aku selalu menikmati kisah dari para pengelana. Cerita mereka adalah cinderamata bagi kaki-kaki yang terikat pada meja kerja.

Kabut gunung dan asap kendaraan. Tak bisa disangkal, kita berasal dari dua alam yang saling meniadakan. Menggunakan bahasa berbeda dan melangkah berlawanan arah.

Namun, pertemuan bukan teka-teki yang sulit dipecahkan. Seperti aliran sungai, kita memiliki satu muara. Persemayaman doa-doa yang dirapal manusia dengan penuh kerinduan. Pusaran segala kasih sayang. Titik mula dan akhir setiap perjalanan.

Untuk itu, kita hanya perlu menjadi kosong. Dirasuki hal-hal mistis, di atas batas romantis. Agar kelak, kita dipertemukan dengan cinta yang tidak amnesia.

Kamu, terus saja.

Tidak perlu berhenti untuk sekadar menanti.

***

Jakarta, 25 Juli 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun