"Bagaimana caranya?"
"Terpa Rinai dengan rintik yang lembut dan sejuk, seperti dulu."
"Bagaimana mungkin? Dia selalu saja memakai payung, seperti orang-orang."
Angin mengerling nakal, menjatuhkan daun-daun kering pohon akasia. "Aku bisa mengaturnya."
Aku diam, meragu. Terakhir kali Angin membantu, yang terjadi justru bencana. Tapi, tak ada pilihan lain. Aku bisa memberinya kesempatan.
"Kau siap?" tanya Angin mengambil ancang-ancang. Bersiap melancarkan ide liarnya yang membuatku berdebar. Hanya saja, aku tak ingin menyerah tanpa mencoba dan berkubang dalam rasa penasaran.
Aku mengangguk mantap.
Seperti biasa, menjelang malam, Rinai melalui setapak berbatu menuju asrama. Kami membuntutinya.Â
Sekali lagi, Angin membuktikan keahliannya menerbangkan sesuatu. Kerangka payung Rinai yang sudah rapuh, dihempas Angin hingga patah setengah bagian. Aku menerobos. Mengetuk lembut kepala Rinai, mengaliri jari-jemarinya yang hangat, meresapi pakaiannya.
"Ah! Kenapa rusak lagi? Hujan sialan ini juga belum berhenti sejak pagi," seru Rinai kesal. Ia mempercepat langkah. Menghilang di balik gerbang asrama. Menyisakan aku yang tertegun, reda sejenak, mencerna kata-katanya barusan.
Hujan sialan?