Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di tengahpadang yang amat luas. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri.
Dawuan, tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti
Pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat melihat kehadiran orang-orang dari perkampungan dalam wilayah kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk.
Pasar Dawuan menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut dan seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang paling terpencil bisa didengar di pasar itu.
Latar waktu merupakan hal yang menjadi salah satu unsur penting dalam sebuah novel, hal ini dikarenakan melalui keterangan waktu yang diberi kita bisa dengan mudah membayangkan kapan peristiwa tersebut terjadi, adapun latar waktu yang banyak muncul dalam novel ini adalah di malam hari dan di pagi hari. Hal ini ditunjukkan oleh kutipan berikut ini ;
"Belum," jawab istri Santayib. "Srintil bayi yang tahu diri. Rupanya dia tahu aku harus melayani sampean setiap pagi."
 Siti, seorang gadis seusia Srintil. Setiap pagi dia membeli singkong di pasar Dawuan.
 Karena setiap pagi aku melayani Siti, maka aku mulai menyenanginya.
"Yah, aku hanya ingin bertanya padamu, bagaimana perasaanmu menghadapi saat Sabtu malam itu?"
Semuanya telah tahu, malam itu Srintil akan menari.
Sesungguhnya Kartareja sedang gelisah. Namun perasaan itu tertutup oleh ketenangannya. Sudah Jumat malam. Seorang pemuda pun belum juga datang memenuhi harapannya, menyerahkan sekeping ringgit emas bagi keperawanan Srintil.