Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mamanda, Teater Tradisional Pesona Bumi Lambung Mangkurat

18 Februari 2020   20:59 Diperbarui: 18 Februari 2020   21:20 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mamanda, teater tradisional masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan (dok pri)

Salah satu bonus istimewa dari mengikuti kegiatan di daerah lain, adalah menikmati kesenian tradisionalnya. Ini tentang Mamanda, teater tradisional masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Membabar kearifan lokal dalam lakon bertajuk "Merajut Asa di Pelinggam Cahaya".

Kesenian tradisional dalam event nasional

Penyelenggaraan event Nasional yang dilanjutkan dengan malam ramah tamah sangatlah jamak dilakukan. Tetamu yang berasal dari aneka penjuru Nusantara dengan aneka budaya. Sajian kesenian tradisional sangatlah strategis untuk membuhul rasa persatuan.

Begitupun saat mengikuti salah satu acara di Bumi Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan. Panitia menyajikan teater tradisional masyarakat Banjar yang disebut dengan Mamanda. Terasa alami, acara dikemas apik di pelataran kebun. Serasa berpayungkan angkasa bumi Banua.

Semakin istimewa, pentas kali ini dipersembahkan oleh para teruna kebun. Mahasiswa dari Universitas Lambung Mangkurat. Mereka tergabung dalam komunitas seni Sanggar Talas. Artikel ini membuka kenangan sajian 5 tahunan yang silam.

Sang penata acara membekali kami penonton dengan paparan singkat bahwa mamanda adalah teater lokal masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Sekilas ada kemiripan dengan kesenian Lenong dari Betawi. Ada trik yang khas, menjalin keakraban dengan penonton melalui dialog bersambut.


Mamanda kesenian tradisional, edukasi tanpa kesan menggurui

Pemain musik kendang tunggal menjadi perangkai antar adegan. Sebagai pembuka,  fragmen sepasang petugas keamanan yang bergelar Harapan Pertama dan Harapan Kedua. Dialog dibangun dengan rancak.

Mengikuti  adab kesopanan setiap pemain memperkenalkan gelar diri agar tidak memicu salah persepsi. "Bukankah begitu sahabatku, Harapan Kedua" "Betul sekali sahabatku, Harapan Pertama" dilanjutkan dengan berbareng meneriakan Eeee....

Dengan pola akhir dialog yang senada, hanya perlu dua kali dialog, kami para penonton mulai terlibat dengan seruan Eeee.... yang membahana. Yup rasa menyatu antara pemain dan penonton terbangun.

Fragmen berikutnya menghadirkan Perdana Menteri. Beliau memberikan arahan kepada Harapan Satu dan Harapan Dua, menyambut persidangan Kerajaan Pelinggam Cahaya. Persidangan terbatas dipimpin oleh Raja dengan dampingan penasehat, permaisuri dan Mangkubumi.

Sebagai raja yang akomodatif pemimpin persidangan menelisik masalah demi masalah. Berorientasi kepada kesejahteraan rakyat. Selalu meminta masukan dari setiap pihak yang disebut dengan kehormatan Paman atau 'Mamanda' dalam bahasa daerah Banjar.

Ritme pertunjukan semakin dramatik. Kehadiran Panglima Perang yang sejak masuk menguarkan aura jumawa layaknya peran antagonis. Pasangan Khadam alias ajudan sang badut yang kocak. aduan dari aneka komponen rakyat yang disampaikan dalam bahasa daerah Banjar yang bermuara pada ketidak selarasan data.

Dari mana awalnya? Perdana Menteri tertuduh, menyeret Panglima Perang, menarik Mangkubuni, merembet ke Khadam, benang ruwet terjalin. Dengan santunnya Sesepuh dan permaisuri memberi saran kepada Raja untuk menangguhkan persidangan dan Raja menelisik sendiri dalam arif.

Tralala...awal dari kehebohan adalah persekongkolan Mangkubumi dan Khadam yang sejak awal tampil kalem kocak. Menjadi akhir klimaks yang tak terduga ibarat twist dalam flash fiction.

Mangkubumi digelandang keluar dari persidangan dengan tidak hormat. Khadam diturunkan pangkatnya menjadi jeem. Bukan general manager namun tukang jaga malam.

Ya...Merajut Asa di Pelinggam Cahaya, ditegakkannya keadilan, teladan penguasa yang berdedikasi kepada kesejahteraan rakyat. Pesan digulirkan melalui edukasi tanpa menggurui.

Kesenian lokal komponen kebhinekaan

Mamanda, mengandung kemiripan dengan lenong Betawi. Ada kesamaan dengan Ketoprak maupun Ludruk dari daerah Jawa. Dijumpai pembeda pemain baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri.

Berbekal informasi dari mbah Google, Mamanda berasal dari kata 'Mama' yang berarti paman (bahasa Banjar) dengan tambahan 'nda' yang dihormati. Seni tradisional yang popular, media hiburan sekaligus digunakan untuk sarana penyuluhan, pendidikan pekerti tanpa menggurui.

Kearifan lokal sejati, kalau ada yang tertempelak loh bukankah ini kisah dari kerajaannya si Khadam. Bukan, ini tidak sedang menyindir seseorang ataupun sekelompok. Lah kalau ada yang merasa perlu berbenah diri, ini yang diharapkan.

Estafet pelaku budaya kesenian tradisional

Selama ini sering mengemuka keresahan tentang keengganan generasi muda dalam berkesenian tradisional. Benarkah demikian? Jangan-jangan kurang dibarengi mandat kepercayaan. Atau model sajian yang tidak bersentuhan dengan relung kekinian.

Apresiasi luar biasa kepada teruna kebun sanggar Talas ini. Mereka mengemas sajian elok dengan improvisasi cerdas. Lekat dengan isue kekinian.

Mereka para pemain adalah generasi muda yang setia nguri-uri (memelihara) budaya leluhur. Tetap memelihara kefasihan wicara bahasa daerah Banjar. [ada unsur kesamaan dengan bahasa Jawa yaitu 'nggih' utuk menyatakan ya secara hormat, ada terdengar nada bahasa Sunda].

Teruna yang kesehariannya bergelut dengan perkuliahan, praktikum di laboratorium, lahan maupun masyarakat pertanian. Masih menyediakan hati dan diri untuk berkesenian. Mamanda digelar dilingkungan akademisi.

Bravo Mamanda.... Teater Tradisional Pesona Bumi Lambung Mangkurat

Catatan: penguat artikel di blog rynari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun