Mohon tunggu...
Bahas Sejarah
Bahas Sejarah Mohon Tunggu... Guru - Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Sejarah Bangsanya Sendiri

Berbagi kisah sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Jabatan Presiden Seumur Hidup

15 Maret 2023   05:29 Diperbarui: 15 Maret 2023   05:37 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi calon Presiden dan Wakil (sumber: tagar.id)

Mungkin banyak yang beranggapan, bahwa menjabat sebagai Kepala Negara dalam waktu yang panjang, kerap menimbulkan masalah demokrasi dalam bernegara. Tetapi, apakah hal itu merupakan alasan utama, prosesi Pemilu yang kiranya lima tahun sekali dapat kemudian diselenggarakan. Tentu banyak faktor yang dapat menjadi kajian bersama, khususnya dalam konteks politik.

Yap, bicara politik adalah bicara tanpa kesudahan. Ragam wacana yang berkembang, dari Pemilu yang ditunda, ataupun pejabat publik yang hendak diangkat sumur hidup. Dengan mekanisme pemilihan yang kiranya dapat "diatur" sendiri sesuai dengan keinginannya menjabat atau dijabatkan kembali. Semua tersistem dalam ritus yang kerap dinamakan sebagai "mekanisme politik". 

Kiranya ini sekedar refleksi untuk kita lihat melalui pendekatan sejarah. Bahwa pada masa lampau, kita ketahui bahwa jabatan sekelas Kepala Negara, pernah diberlakukan seumur hidup. Atau bahkan ada yang menjabat sekian lama, melalui mekanisme kebijakan yang telah "diatur" walaupun dianggap melanggar nilai demokrasi.

Nah, apa sih alasannya? Mengapa hal itu dapat terjadi pada sebuah Negara yang "konon" berdiri atas nama kedaulatan di tangan rakyat ini. Demikian kisahnya...

Kita lihat peristiwa pengangkatan Presiden sebagai Kepala Negara seumur hidup pada masa Orde Lama. Kiranya usai era demokrasi Parlementer diterapkan. Tepatnya sejak tahun 1959 hingga 1967, yakni usai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diteken Pemerintah. Presiden Soekarno menetapkan sentralisasi pemerintahan yang terpusat pada seorang Kepala Negara.

Artinya bahwa, segala macam kebijakan Pemerintah, harus melalui mekanisme yang diketahui dan disetujui oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi. Jadi, apapun bentuk sikap oposisi yang berkaitan dengan unsur politik, akan diminimalisir. Baik dalam lingkup pemerintahan itu sendiri, partai-partai, ataupun kelompok, yang dianggap tidak sejalan.

Semua ini terjadi, lantaran Presiden Soekarno kala itu sudah lelah dengan konflik politik antar partai yang kerap membuat stabilitas Negara terganggu. Belum lagi domonasi antar kelompok yang dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu. Ragam konflik dan pemberontakan di berbagai daerah memang menjadi dasar pemberlakuan sistem ini.

Tetapi, tidak sepenuhnya itu dapat dijadikan analisa. Walau secara fakta, memang konflik antar golongan marak terjadi. Nah, antar golongan yang bertikai ini adalah kelompok-kelompok yang menjadi massa mayoritas kala itu. Memiliki kekuatan politis, dan dapat dukungan kuat dari para pemimpinnya.

Medio 1960an, memang menjadi masa sulit bagi Indonesia, konfrontasi dengan Malaysia serta dominasi kelompok komunis yang telah dianggap dekat dengan penguasa. Rosihan Anwar dalam, "Soekarno, Tentara, PKI; Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965", memberi gambaran bagaimana konflik antar ideologi kerap menimbulkan gesekan di masyarakat.

Pun dengan Lambert J. Giebels dalam, "Pembantaian yang Ditutup-tutupi; Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno", secara jelas mengabstraksikan sebagai tahun vivere pericoloso, sesuai dengan kutipan dari pidato Bung Karno.

Tetapi, jauh sebelum tragedi terjadi, sebetulnya ada yang menjadi faktor utama pemberlakuan jabatan Presiden seumur hidup. Yakni Chaerul Saleh, yang kala itu menjabat sebagai Ketua MPRS. Chaerul Saleh secara langsung mengutarakan dan membujuk Soekarno agar menerima tawaran yang diusulkannya.

Hal ini diterangkan oleh AM Hanafie dalam, "Menggugat; Kudeta Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar". Dimana upaya Chaerul Saleh ini dijelaskan melalui mekanisme sidang MPRS di Bandung, pada 22 Mei 1963. Melalui Kol. Suhardiman dari TNI yang anti komunis, memberi pandangan betapa konflik sosial yang terjadi kala itu berlatar dari pertentangan ideologi.

Pun demikian dengan Chaerul Saleh, yang melihat PKI telah berdiri sebagai rival TNI dengan posisi saling berhadapan. Maka, atas dasar itulah, Soekarno akhirnya mau memenuhi saran tersebut guna mengantisipasi pertumpahan darah. Walau awalnya menolak dengan tegas, tetapi kondisi perpolitikanlah yang akhirnya membuat Soekarno menerima jabatan tersebut.

PKI kala itu memang tengah jaya, bahkan di Jakarta menduduki peringkat kedua, diatas PNI dan NU. Para tokoh Angkatan 45 pun memberi dukungan yang sama terhadap Presiden, untuk menempati jabatannya seumur hidup. Kekuatan politik PKI hanya dapat ditundukkan oleh Soekarno selaku Presiden, pun dengan TNI, dengan harapan sebagai peredam konflik.

Maka, melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS Tahun 1963, Presiden Soekarno pun ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup. Inilah kiranya yang menjadi kontroversial hingga kini. Lantaran keputusan tersebut dianggap telah menyalahi UUD 1945. Sebagai Negara demokrasi dan tidak mengenal istilah pejabat Presiden dapat diangkat seumur hidup.

Namun, hal krusial yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia kala itu memang demikian adanya. Bahkan Presiden berupaya untuk menyatukan segala golongan dengan ideologi berbeda melalui Nasakom. Dengan ragam pertentangan sosial dan politik yang terjadi hingga di lingkup terkecil pada masyarakat.

Wajar jika kemudian hari Presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin dianggap sebagai diktator. Lantaran semua kebijakan Negara terpusat pada seorang pemimpin, yang kala itu dianggap dekat dengan PKI. Walau usai terjadinya peristiwa September 1965, Presiden Soekarno mengutuk aksi dari para kolaborator peristiwa tersebut.

Kiranya demikian, alasan dibalik jabatan Presiden seumur hidup pada masa Orde Lama. Semua tentu memiliki latar belakangnya, dan tidak sekalipun atas inisiatif sendiri dari Soekarno, yang memang memegang teguh prinsip-prinsip berdemokrasi. Salam damai, terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun