Nyatanya, proyek-proyek ini pun mandeg di tengah jalan karena pesan-pesan tak lagi terbalaskan. Padahal, segala upaya dan tenaga telah tersalurkan untuk proyek-proyek tersebut.
Beberapa bulan setelahnya, keduanya beralasan "sibuk dengan yang lain". Ah, bukahkah kesibukan itu telah bisa kita terka sedari awal? Lalu mengapa sampai harus meng-ghosting?
Saya pikir, untuk hal semacam ini, komitmennya tak lagi di sana, menghilang dan enyah entah kemana, tergantikan oleh mereka yang lainnya.
Jika saat dulu bersekolah, ghosting meng-ghosting mungkin hanya sebatas mangkir dari kerja kelompok. Namun semakin dewasa, rasa-rasanya manusia tak lagi sungkan untuk menghilang tanpa kabar dan memberi rasa hambar.
Padahal, tak ada salahnya untuk sekedar berkata "maaf, aku tak bisa lagi bekerja sama denganmu". Ini lebih baik daripada menghilang tanpa jejak dan mengabaikan manusia lainnya yang tetap menunggu datangnya berita darinya.
Akal t'lah di sana, untuk berpikir.
Mungkin juga untuk merangkai kata berucap "maaf aku harus pergi”.
Pun mulut t'lah di sana, untuk berucap.
Tuk sekedar berkata "aku pergi”.
Tangan juga selalu sedia.
Dikala harus berkirim pesan "cukup sampai di sini".