Mohon tunggu...
Novie Rupilu
Novie Rupilu Mohon Tunggu... lainnya -

Ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Self-sexualization pada anak: peran media dan orang tua

14 September 2012   12:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:28 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang ayah yang memiliki 2 orang putri, saya memang harus khawatir. Betapa tidak, pagi ini saya membaca sebuah artikel tentang objektifikasi seksual pada anak-anak. Topik tentang objektifikasi seksual telah menjadi bahan perdebatan di ruang publik. Kebanyakan wanita beranggapan bahwa mengenakan busana yang seksi merupakan hal yang lumrah saja. Salah sendiri kalau orang yang melihat perempuan seksi lantas berpikiran yang macam-macam. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan hal ini. Jelas saja karena perempuan dan laki-laki memiliki persepsi yang berbeda tentang suatu objek. Perbedaan tersebut karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki struktur otak yang berbeda. Selain struktur otak yang berbeda, laki-laki dan perempuan juga memiliki hormon yang berbeda.Tetapi saya tidak mengkaji perbedaan tersebut secara lebih mendetail.

Kembali  pada topik objektifikasi seksual anak, sebuah penelitian yang dilansir situs Livescience menyajikan fakta menarik bahwa sebagian besar anak-anak perempuan yang masih berusia 6 tahun sudah mulai memandang bahwa dirinya adalah objek seksual atau mengobjektifikasi dirinya sendiri (self sexualization). Fakta tersebut adalah hasil temuan riset yang dilakukan oleh psikolog dari Knox College in Galesburg. Hasil riset yang dipublikasi secara online pada jurnal Sex Roles, menunjukkan bahwa umumnya kebanyakan gadis berusia 6 - 9 tahun lebih memilih mengenakan pakaian yang berukuran mini agar terlihat lebih seksi. Ini menunjukkan bahwa bahwa anak perempuan pada usia itu sudah mulai menyadari bahwa dirinya dapat menjadi objek seksualitas. Para peneliti menggunakan 2 boneka sebagai model. Boneka pertama mengenakan pakaian yang ketat dan seksi sedangkan boneka kedua menggunakan pakaian yang trendi namun agak longgar. Hasilnya, 70% sampel mengatakan bahwa mereka lebih menyukai tipe yang ketat dan seksi agar tampil lebih seksi. Ketika membaca artikel itu, saya menyangsikan apakah para peneliti telah melakukan lompatan induktif? Apakah kecendrungan sebagian besar sampel pada boneka seksi atas dasar pengetahuan mereka tentang keuntungan jika menjadi seorang yang seksi? ataukah kecendrungan tersebut hanya karena boneka seksi terlihat lebih menarik.

Namun peneliti meyakini bahwa "ini sangat mungkin bahwa perempuan ingin terlihat seperti boneka seksi karena mereka percaya keseksian mengarah ke popularitas, yang datang dengan keuntungan sosial," Kata ketua Tim Peneliti Christy Starr, yang sangat terkejut melihat berapa banyak 6 - 7 tahun gadis memilih boneka seksual sebagai diri ideal mereka.Artinya, anak sudah melakukan identifikasi terhadap keuntungan menjadi seorang yang seksi dan menginternalisasi nilai itu sebuah sebagai sesuatu yang ideal bagi mereka. Dalam penelitian itu, sampel yang digunakan direkrut sekolah umum maupun sekolah tari. Hasil riset tersebut sekaligus juga mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi sikap itu.  Keterlibatan dalam kelompok tari dapat meningkatkan kesadaran bahwa tubuh mereka dapat digunakan untuk tujuan terlihat lebih seksi oleh orang lain.  Para peneliti bahwa penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa gadis-gadis muda di yang terlibat dalam olahraga yang sifatnya estetis  seperti tari lebih peduli tentang berat badan mereka daripada yang lain.

Faktor Penting

Para peneliti juga berpendapat bahwa media dan orang tua merupakan faktor penting dalam self sexualization anak. Media-media, khususnya TV, cenderung menayangkan program atau iklan yang menonjolkan aspek sensual wanita.  Saya ingat sebuah iklan pompa air yang sering ditayangkan di TV yang memperlihatkan seorang wanita seksi berpakaian ketat dan memperlihatkan aura sensual. Lantas apa keterkaitan antara wanita seksi dan pompa air? Para pembuat iklan memanfaatkan hasrat sebagai sasaran. Psikoanalis Sigmun Freud pernah menegaskan hal itu. Bahwa manusia prilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas. Iklan semacam inilah yang justru memberikan pembelajaran negatif bagi anak-anak. Selain faktor media informasi, peran orang tua juga sangat penting. Ibu yang sering tampil seksi atau mengenakan pakaian ketat yang memperlihatkan aura sensual dapat meningatkan self sexualization pada anak. Seorang anak akan meniru akan apa yang dilakukan oleh ibunya dalam hal berpakaian.

Peran Penting Ibu

Untuk mencegah terjadinya self sexualization pada anak perempuan, peran ibu sangatlah penting. Media TV dapat dijadikan oleh ibu untuk memberikan pelajaran tentang apa yang baik dan apa yang kurang baik bagi anak perempuan.  Pembelajaran tentang objektifikasi seksual sangatlah penting diberikan pada anak perempuan pada usia dini. Hal ini mengingat bahwa semakin banyak budaya popular yang menggunakan wanita sebagai objek seksual laki-laki. Artinya, iklan dibuat dengan menggunakan wanita seksi agar mampu menarik hasrat (desire) laki-laki. Hal inilah yang banyak mempengaruhi karakteristik seksual pada anak perempuan. Eileen Zurbriggen, seorang profesor psikologi di University of California, Santa Cruz mengingatkaan bahwa nilai-nilai agama dan pembelajaran melalui media TV yang dilakukan oleh seorang ibu dapat melindungi anak.

Kebanyakan riset-riset ini dilakukan di dunia barat yang memiliki pola pergaulan yang lebih vulgar, tetapi setidaknya menjadi catatan penting bagi orang tua dalam pola pembinaan anak. Saya tidak ingin terlibat pada perdebatan antara wajar atau tidaknya seorang wanita dewasa menggunakan pakaian seksi, tetapi penggunaan pakaian semacam itu pada ruang publik memang harus dipikirkan kembali, terutama pada program TV. Bukan membatasi tetapi dikelola secara arif dan bijak agar tidak tidak berdampak negatif pada anak. Selain itu, pembelajaran tentang apa yang baik dan apa yang kurang baik harus dilakukan secara intesif di dalam keluarga.  Menurut saya, riset ini adalah peringatan penting bagi orang tua untuk lebih berhati-hati memperhatikan perkembangan psikologis anak.

*) Novie SR

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun