Mohon tunggu...
Novie Rupilu
Novie Rupilu Mohon Tunggu... lainnya -

Ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sejarah Bibliosida

11 Februari 2014   21:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:55 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dokumentasi pribadi

Pertanyaannya; siapakah yang berhak menentukan isi kepala seseorang, selain pemiliknya?

Di Irak, Fernando Baez terhenyak. Mungkin juga histeris. Perang atas nama demokrasi tidak hanya sukses menumbangkan rezim berkuasa. Lebih dari itu, warisan peradaban dunia pun lenyap, entah dijarah atau hangus tertimpa bom Amerika dan sekutunya. Warisan tak ternilai dari peradaban dunia pun lenyap. Benda-benda arkeologi yang berharga dicuri. Jutaan buku di perpustakaan nasional dan perpustakaan universitas hancur.

Musuh Sadam Husein mungkin bersorak. Tapi bagi seorang Fernando Baez,ia justru meradang. Ia tahu bahwa sejarah tulis-menulis muncul di sekitar daerah yang kini dipadati tentara dan sipil bersenjata itu. Tulisan pertama ditemukan ditemukan di Sumeria 5.300 tahun lalu. Daerah yang dulunya dikenal sebagai Mesopotamia dan sekarang sebagai Irak Selatan. Daerah di antara sungai Efrat dan Tigris. Dan kini, warisan itu hanyalah kenangan yang sebentar lagi lenyap dari ingatan. Ini adalah sebuah ironi; daerah yang kaya nilai historis telah berubah wujud menjadi medan perang yang tak ramah. Budaya tulis-menulis menjadi kebiasaan tembak-menembak.

Namun ironi ini sudah terjadi sejak lama, bahkan ketika tulisan budaya tulis-menulis itu pertama kali muncul. Fernando Baez mencatatnya dalam buku “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”. Sebuah buku yang mencengangkan sejak halaman-halaman awalnya. Tak banyak, atau juga mungkin belum ada buku yang menceritakan peristiwa bibliosida (istilah untuk penghancuran buku). Buku ini melacak proses penghancuran buku dari zaman Sebelum Masehi (SM), 4100 – 3300 SM. Fernando Baez membagi fase penghancuran buku itu menjadi tiga bagian, mulai dari zaman kuno, pertengahan hingga modern. Ada begitu banyak peristiwa penghancuran buku yang telah terjadi. Mungkin juga ada banyak peristiwa yang tak sempat terekam oleh Baez. Menyedihkan memang, tapi itulah fakta peradaban dunia ini.

Peristiwa penghancuran buku yang pertama terjadi Sumeria, tempat dimana budaya tulis-menulis pertama kali ditemukan. Tablet-tablet kuno – terbuat dari tanah liat dan digunakan sebagai media tulis – ditemukan terbakar. Ini bukti arkeologi. Muncul pertanyaan, apakah tablet-tablet itu sengaja dibakar?

Baez menduga, iya. Perang antar kota yang sering terjadi kala itu juga menyimpan misi penghancuran budaya. Tidak hanya kota yang ditaklukan, budaya-budaya yang tersimpan pun harus dilenyapkan.


“atas perintah Enlil untuk membumihanguskan seisi negeri dan kota .... dia telah menetapkan nasib bangsa itu agar kebudayaan mereka dimusnahkan” (hal 24)

Pada masa itu, buku-buku dalam bentuk tablet-tablet tanah liat dihancurkan. Sisanya digunakan untuk membuat batu bata dan pelapis jalan. Penghancuran ini diduga disebabkan karena budaya tulis-menulis saat itu diyakini melibatkan kekuatan supranatural. Orang-orang Sumeria diberi gelar “orang-orang berkepala hitam”. Ada banyak mitos tentang asal-muasal tulisan. Ada yang menyebut bahwa tulisan dibuat oleh Dewi Gandum. Ada pula mitos bahwa raja Kota Uruk lah yang menemukan tulisan karena kurirnya terlalu lelah untuk menyampaikan pesan.

Lepas dari mitos-mitos itu, budaya tulis-menulis adalah penemuan penting dalam peradaban umat manusia. sayangnya, penemuan itu pun sering menjadi musuh. Dibakar, dihancurkan atau dilarang perendarannya.


“saya berpendapat bahwa buku hancur bukan sebagai objek fisik, melainkan sebagai tautan memori, tautan pada kesadaran pengalaman masa lampau” tulis Baez.

Saya juga tercengang, ketika membaca bahwa filsuf sehebat Plato pun pernah melakukan pembakaran buku. Plato menjelaskan bahwa tulisan akan berakibat pada terlantarnya ingatan manusia. sayangnya, Plato mengemukakan hal itu dalam bentuk buku juga (Phaedrus – 274 e-275 b). Plato diduga memusnahkan buku-buku yang tidak sejalan dengan pemkirannya.

Saya jadi ingat beberapa peristiwa yang sama juga terjadi di Indonesia. Yang paling mutakhir adalah pelarangan diskusi buku tentang sosok kontroversi Tan Malaka di Surabaya. Ada masa ketika sekelompok orang membakar buku karangan Prof. Franz Magnis Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx: dari sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Beberapa judul buku juga sempat dilarang melalui keputusan Jaksa Agung RI.

Kita harusnya gembira bahwa Mahkamah Konstitusi, pada tahun 2010 lalu, telah menyatakan bahwa kewenangan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 1 ayat (1) UU No. 4/PNPS/1963 adalah bertetangan dengan konstitusi. Artinya, siapa saja boleh menerbitkan buku apa saja, sejauh itu didasari pada informasi yang sahih. Dan lagi, siapa saja boleh membaca buku apa saja sesuai keinginan dan kebutuhannya.

Budaya tulis-menulis kini menjadi lebih bebas. Namun, masih ada orang yang setia pada pelarangan itu. Kabar terakhir, diskusi buku karangan Harry A. Poeze sempat dilarang karena tokoh utama buku itu adalah penganut ajaran Marxisme-Leninisme.

Kita patut cemas. apakah ini sebuah upaya menghilangkan memori kolektif? Anda bisa menjawabnya.

Judul Buku: Penghancuran Buku dari Masa ke Masa | Penulis: Fernando Baez | Penerbit: Marjin Kiri

Novie SR

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun