Bulan Syawal yang menyusul bulan Ramadan membawa gelombang kebahagiaan Idul Fitri ke seluruh penjuru tanah air, termasuk di Kota Blitar, Jawa Timur. Bagi masyarakat Blitar, Lebaran bukan hanya sekadar penutup bulan puasa, melainkan sebuah perayaan yang sarat makna, diwarnai oleh tradisi-tradisi luhur yang diturunkan dari generasi ke generasi. Perpaduan antara nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal menciptakan mozaik perayaan yang unik, menghadirkan bukan hanya kegembiraan, tetapi juga filosofi hidup yang mendalam mengenai kebersamaan, pengampunan, serta penghormatan terhadap leluhur.
Perayaan menyambut Idul Fitri diawali dengan ritual *Nyadran* atau *Megengan*, sebuah selamatan yang menandai akhir bulan suci Ramadan. Biasanya diselenggarakan pada minggu terakhir Ramadan, tradisi ini mengumpulkan tetangga dan kerabat dalam suasana kebersamaan, dikelilingi oleh hidangan tradisional yang kaya simbolisme. Misalnya, apem yang lembut melambangkan permohonan ampunan, ketan yang lengket merepresentasikan persatuan, dan kolak pisang menggambarkan keharmonisan dalam kesederhanaan. Di daerah pinggiran Blitar, seperti Sanankulon dan Kanigoro, ritual Megengan dilaksanakan dengan cara khusus, termasuk di area pemakaman keluarga. Di tempat ini, berbagai hidangan dibawa dan dibagikan kepada para peziarah lainnya, sebagai bentuk penghormatan kepada para pendahulu sekaligus menanamkan nilai berbagi di antara sesama.
Kemeriahan Lebaran di Blitar juga terasa melalui tradisi *Takbir Keliling*, yang di Kabupaten Garum memiliki keunikan tersendiri. Suara takbir dari masjid dan surau menggemakan malam kemenangan, namun di Garum, partisipasi masyarakat dalam arak-arakan menjadi daya tarik tersendiri. Baik tua maupun muda, mereka berjalan kaki atau menggunakan kendaraan sederhana yang dihias dengan lampu berkilauan dan ornamen Islami. Semangat anak-anak muda yang membawa obor atau lampion menambah keceriaan suasana malam tersebut. Meskipun lebih sederhana dibandingkan perayaan di kota-kota besar, takbir keliling di Garum justru memancarkan kehangatan serta mempererat tali persaudaraan di antara warga. Lantunan takbir yang khusyuk berpadu dengan sapaan ramah antar tetangga, menciptakan ikatan komunal yang kuat di malam yang penuh berkah. Lebih dari sekadar pawai, tradisi ini berfungsi untuk mempererat silaturahmi, dengan rute yang melintasi gang dan jalan desa, memungkinkan interaksi hangat antara peserta dan masyarakat sekitar yang menyaksikan. Sambutan penuh kehangatan dari warga setempat, disertai senyuman dan ucapan selamat Idul Fitri, semakin mengukuhkan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang tetap dijunjung tinggi di pedesaan Garum.
Salah satu tradisi Lebaran yang kaya makna di Blitar adalah *Kupat Gantung* atau *Kupatan Oyod*. Tradisi ini dikhususkan bagi keluarga yang telah kehilangan anak. Ketupat yang terbuat dari anyaman janur berbentuk persegi digantungkan di atas pintu rumah sebagai tanda penghormatan untuk anak-anak yang telah berpulang. Masyarakat Blitar meyakini bahwa dengan cara ini, arwah anak yang telah tiada dapat merasakan kembali kebahagiaan Lebaran bersama keluarga yang ditinggalkan. Ketupat yang menggantung juga dipahami sebagai jembatan antara alam manusia dan alam roh, sekaligus menjadi untaian doa agar arwah anak-anak tersebut beristirahat dengan tenang di alam keabadian. Ketupat ini akan tergantung selama tujuh hari, menjadi pengingat bagi setiap tamu akan kehidupan yang singkat namun penuh makna yang pernah ada di rumah tersebut. Pada hari ketujuh, yang bertepatan dengan Lebaran Kupat, ketupat-ketupat ini dilepaskan dan dibagikan kepada anak-anak atau tetangga sebagai wujud sedekah dan berbagi berkah di bulan Syawal.
Puncak sukacita Lebaran di Blitar terjadi pada hari ketujuh setelah Idul Fitri, yang dikenal sebagai *Bakda Kupat* atau Lebaran Ketupat. Hari ini menandai akhir seluruh rangkaian perayaan. Keluarga yang telah melaksanakan tradisi Kupat Gantung akan mengadakan selametan khusus dengan mengundang tetangga dan sanak saudara. Meja-meja akan dipenuhi dengan hidangan ketupat yang dinikmati bersama opor ayam dan sambal goreng hati. Doa-doa khusus dipanjatkan untuk arwah anak-anak yang telah berpulang, dengan harapan mereka mendapatkan tempat terbaik di sisi Sang Pencipta. Di beberapa desa pinggiran Blitar, seperti Garum dan Nglegok, Bakda Kupat juga dirayakan dengan pawai keliling desa, di mana anak-anak ceria membawa ketupat dan lepet sambil melantunkan tembang-tembang Jawa, menambah semarak penutup perayaan Lebaran.
Seiring berjalannya waktu, tradisi Lebaran di Blitar menghadapi tantangan dari modernisasi dan perubahan pola pikir masyarakat. Di pusat kota, tradisi selametan Megengan mulai mengalami penyederhanaan, di mana beberapa keluarga modern memilih doa bersama dalam lingkup kecil atau mengalihkannya menjadi sedekah langsung. Tradisi Kupat Gantung lebih banyak ditemukan di pedesaan yang masih menjaga nilai-nilai tradisional Jawa khususnya, di Kabupaten Garum. Namun, di beberapa desa sekitar Blitar, para sesepuh dan tokoh adat terus berupaya melestarikan tradisi ini melalui pendidikan nilai luhur kepada generasi muda. Pemerintah kota juga mendukung upaya ini dengan festival budaya dan program edukasi mengenai kearifan lokal di sekolah-sekolah. Menariknya, beberapa keluarga di Blitar berinovasi dengan mengadaptasi tradisi agar tetap relevan dengan gaya hidup modern, seperti mengadakan selametan yang melibatkan kerabat jauh melalui video call atau memaknai Kupat Gantung secara simbolis dengan sedekah.
Di penghujung perayaan Lebaran, tradisi *anjangsana* atau reuni keluarga besar di Kabupaten Garum menjadi sebuah momen yang sangat dinantikan. Setelah menghabiskan hari-hari pertama dengan silaturahmi bersama kerabat dekat, berkumpulnya seluruh anggota keluarga besar menjadi puncak kehangatan dan kebersamaan. Rumah sesepuh keluarga pun menjadi pusat pertemuan, di mana berbagai generasi berbagi cerita, mengenang masa lalu, dan menguatkan ikatan persaudaraan. Suasana dipenuhi obrolan, tawa, dan hidangan khas Lebaran yang menciptakan kenangan indah. Anjangsana bukan sekadar pertemuan fisik, tetapi juga merupakan momentum untuk meneguhkan ikatan keluarga dan menanamkan nilai-nilai kekeluargaan kepada generasi muda.
Di Garum, tradisi ini memiliki makna yang mendalam sebagai sarana untuk saling memaafkan, berbagi kebahagiaan, dan memberikan dukungan. Para sesepuh memainkan peran penting dalam memimpin doa dan memberikan nasihat, sehingga nilai luhur keluarga tetap terjaga di tengah arus modernisasi yang cenderung individualistis. Anjangsana menjadi perekat yang kuat, menjaga ikatan darah serta rasa saling memiliki sebagai warisan berharga di Kota Blitar, khususnya di Kabupaten Garum.
Dengan segala keunikannya dan makna yang dalam, tradisi Lebaran di Kota Blitar, mulai dari persiapan hingga anjangsana, mengingatkan kita akan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Ini adalah warisan yang tidak hanya layak didokumentasikan, tetapi juga harus dihidupi dan diwariskan sebagai bagian tak ternilai dari identitas masyarakat Blitar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI