Mohon tunggu...
Novian Indriani
Novian Indriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN SAIZU PURWOKERTO

Hobi saya adalah bersenandung dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Keterasingan

27 Juni 2022   12:45 Diperbarui: 27 Juni 2022   13:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Ayah" sosok lelaki paruh baya yang menjadi tulang punggung keluarga. Namun, kini sososk cinta pertamaku itu, berubah menjadi sosok yang dingin, kasar dan juga cepat marah. Beliau pun tak selalu bisa di sampingku. Saat aku mulai sadar akan kesendirian dan keterasingan di tempat yang merupakan rumahku sendiri, aku mulai mempertanyakan satu dan lain hal yang mungkin akan sulit dijawab oleh wanita berhati bidadari yang sosoknya tak pernah lemah itu---ibu.

Hatiku hancur, ketika ku harus menerima kenyataan bahwa keluargaku tak seutuh keluarga lain. Melihat diluaran sana banyak yang hidup sederhana namun rasa bahagianya selalu ada karena hangatnya kebersamaan dalam sebuah keluarga. Sedangkan aku hanya berteman sepi dan menyendiri dan berharap akan datangnya keajaiban agar keluargaku bisa kembali seperti dulu lagi.

Mengingat kejadian 7 tahun lalu, saat aku masih membutuhkan sosok penguat, penopang, dan pelindung yang selalu ada dan melihat semua perkembanganku hingga aku beranjak dewasa justru membuatku merasakan pedihnya sebuah perpisahan. Beliau meninggalkan luka yang begitu dalam pada waktu yang seharusnya aku tak pantas menyaksikan apa yang terjadi dihadapanku pada saat itu.

            "Ayah," panggil gadis kecil yang bernama Jessi itu.

            "Iya ada apa" jawab beliau dengan nada gusar dan raut wajah yang masam.

Dan pada saat yang sama ku dengar suara bantingan gelas dari dapur. Suaranya yang keras dan berulang itu membuatku ketakutan. Aku memilih diam. Ibu keluar dengan wajah yang lusuh dan matanya sembab, aku yakin beliau baru saja menangis. Aku tak tau apa yang harus kulakukan dan siapa yang harus aku ikuti.

Ayah yang duduk di kursi depan itu berdiri dan langsung masuk kamar. Pintu kamar yang tak tertutup itu membuat netraku leluasa untuk melihat apa yang ayah lakukan. Terlihat beliau sedang mengemasi baju dan barang lainnya. Sedang ibu hanya diam dan berusaha membendung air mata yang sudah tertahan di pelupuk matanya. Beberapa saat kemudian ayah keluar dan mengecup keningku. Dan ternyata itulah kecupan terakhir dari ayah sebelum ia memilih untuk meninggalkan rumah beserta anak dan istri yang masih membutuhkan sosoknya saat itu.

         

"Jes tetap disini saja ya, jangan tinggalkan ibu,"

Aku pun mengangguk dan tak mengerti apa makna ucapan ibu itu. Dan hari demi hari pun aku lewati tanpa adanya sosok ayah. Ibu berusaha mengais pundi pundi rupiah yang aku yakin, beliau berusaha mati matian demi memberiku sesuap nasi. Tegar dan lembut sikapnya selalu menghangatkan, teduh dan tentram rona wajahnya mendamaikan hatiku. Sungguh aku tak tau betapa hancur hati dan jiwaku tanpa hadirnya sosok bidadari tak bersayap itu.

Tetes tetes air yang mulai membasahi tubuhku, menyadarkanku dari lamunan panjang yang tak kusadari membuat air mataku mengalir bercampur dengan turunnya hujan malam ini. Peristiwa yang membuatku mengerti arti keluarga, sepi, sunyi, dan sendiri. Dan cerita tentang berharganya sosok ibu dalam hidupku. Aku yakin Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Aku berjanji akan selalu membahagiakan ibu sampai helaan nafas terakhirku nanti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun