Awal Bangkit: Menerima Bahwa Aku Tidak Baik-Baik Saja
Aku mulai jujur pada diri sendiri. Aku berani berkata, "Aku tidak baik-baik saja. Aku capek. Aku nggak kuat." Dan ternyata, mengakui itu bukanlah bentuk kelemahan. Justru dari situlah perjalanan penyembuhanku dimulai. Pelan-pelan, aku mulai mencari bantuan. Aku memberanikan diri untuk dikonseling sama ibu asrama, ngobrol dengan pembina asrama dan membuka hati kepada teman yang bisa aku percaya. Awalnya gugup takut dinilai, takut dianggap lemah. Tapi ternyata, didengar itu rasanya luar biasa melegakan.
Disisi lain, aku mulai menulis. Setiap malam, aku tuangkan isi hati ke dalam diary. Menulis jadi ruang aman tempat aku bisa jadi diriku sendiri; marah, sedih, kecewa, takut, semuanya keluar tanpa takut dihakimi. Setiap kalimat yang kutulis seperti tetes-tetes luka yang selama ini aku tahan dari situlah perlahan aku menemukan kekuatan yang baru.
Prosesnya tentu tidak instan. Tapi hari demi hari, rasanya sedikit lebih ringan. Aku belajar satu hal penting yaitu; "untuk sembuh, kita tidak harus selalu kuat." Kita hanya perlu cukup jujur untuk berkata, "Aku butuh bantuan." Dan yang paling menguatkan, aku kembali menemukan doa. Bukan doa yang panjang atau indah, tapi doa yang jujur, doa yang tulus. Kadang cuma sesederhana ini: "Tuhan, aku lelah... tapi temani aku hari ini."
Ternyata, harapan itu tidak selalu datang dalam bentuk besar atau gemerlap. Kadang, dia datang dalam bentuk pelukan diam dari sahabat yang tidak banyak tanya, tapi selalu ada. Atau dari pesan singkat dari keluarga yang berbunyi, "Kami sayang kamu." Sederhana, tapi cukup untuk membuatku bertahan satu hari lagi. Dan satu hari lagi. Sampai akhirnya, cahaya yang sempat padam itu mulai menyala kembali. Pelan-pelan, tapi nyata.
Hal-hal Kecil yang Membantu Aku Bangkit
- Berani Bercerita: Aku mulai berbagi kepada teman, mentor, bahkan lewat tulisan. Ternyata, banyak orang juga yang sedang berjuang seperti Aku. Aku tidak sendiri.
- Menjaga Rutinitas Sehat: Aku mulai tidur lebih teratur, berjalan kaki pagi-pagi keliling kompleks asrama, dan minum cukup air. Hal sederhana, tapi punya efek besar.
- Mengisi Hari dengan Tujuan Kecil:Â Mengambil waktu untuk doa pribadi, membantu teman satu kamar, membaca ayat harian, dan belajar untuk sharing. Hidup tidak perlu besar untuk berarti.
- Memaafkan Diri Sendiri:Â Aku mulai belajar berdamai. Bahwa aku boleh lelah, boleh salah, dan boleh tidak sempurna. Tapi aku tetap layak untuk hidup dan dicintai.
Kembali Mencintai HidupÂ
Aku masih tinggal di asrama. Kadang, rasa sepi itu masih datang. Tapi sekarang, aku tahu, aku tidak benar-benar sendiri. Aku mulai mencintai hidup. Bukan karena semua masalah telah hilang, tapi karena aku memilih untuk tetap ada.
Aku belajar bahwa hidup tak harus selalu terang. Bahkan dalam remang-remang pun, kita tetap bisa tumbuh. Aku mulai menerima diriku sendiri, mencintainya pelan-pelan seperti seseorang yang sedang belajar berjalan lagi setelah lama terjatuh.
Hidup Itu Masterpiece, Bukan Sekadar Good Piece
Hidupku bukan sempurna. Tapi aku sedang melukisnya, tiap hari. Dengan warna luka, garis harapan, dan titik-titik keberanian. Aku nyaris mati, tapi hari ini aku hidup, sungguh-sungguh hidup. Dan jika kamu membaca ini, mungkin Tuhan sedang mengingatkanmu juga: Â "Coba satu hari lagi."