Rupanya tak hanya mainan, beberapa biskuit, susu kotak, coklat dan permen juga mereka ambil. Saya memperhatikan dari balik kaca. Tak lama mereka melakukan aksinya. Dua orang dengan santai menuju kasir membawa dua barang untuk melakukan transaksi. Sedang tiga orang lainnya, satu per satu keluar minimarket. Setelah itu mereka menyebar kedua arah berbeda.
Ceita Kedua
Sekolah dasar ini bukan sekolah yang murah, sekolah swasta yang cukup banyak diminati para orangtua. Karena bangunannya mentereng dengan fasilitas mewah yang ditawarkan. SD ini menerima calon murid rata rata dari golongan menengah atas.Â
Sekolah ini juga memiliki kuota untuk menerima anak-anak yang kurang mampu biasanya anak yatim. Mulia sebenarnya apa yang dilakukan sekolah ini.
Sayang, di sekolah ini anak-anak yang kurang mampu ini sering mengalami perundungan karena beda kelas secara ekonomi.Â
Anak-anak kurang mampu ini memang akan terlihat berbeda saat bergabung didalam sekolah. Dari penampilan seperti tas, sepatu, jam tangan, alat tulis atau gawai mainan yang lumayan mahal.
Sekolah ini nampaknya luput untuk melakukan edukasi kepada murid-murid kayanya, karena ada stigma yang tak tertulis bahwa anak-anak kurang mampu ini sedikit lambat dalam menerima pelajaran, cenderung lebih nakal dan susah diatur. Atau sebaliknya sangat pendiam dan tertutup.
Anak-anak kurang mampu di sekolah kaya memang seperti anomali. Mereka datang diantar dengan sepeda motor atau dengan angkot akan segera menjadi cerita dikalangan ibu-ibu sosialita yang menunggu anak-anak mereka.Â
Gaya ibu-ibu sosialita ini kemungkinan juga terbaca oleh anak-anak mereka sehingga terjadinya perundungan di dalam sekolah.
Tentu yang terjadi di SD kaya ini kemungkinan juga terjadi di SD lainnya. Guru dan pihak sekolah tak cukup waktu dan tak cukup peduli dengan kasus perundungan antar murid muridnya. Hal yang masih dianggap biasa, kenakalan anak yang tak terlalu digubris. Sementara orangtua juga sudah kelelahan karena sibuk dikantor atau tempat kerja masing masing.
Perundungan di dalam lingkungan sekolah kerap terjadi karena tak ada aturan yang jelas, tidak ada edukasi, tidak ada konseling yang dilakukan pihak terkait. Akibat perundungan bisa ringan bahkan bisa menjadi berat dan sangat serius. Ada anak yang sampai memilih bunuh diri karena depresi selalu menjadi bahan perundungan teman-temannya.