Cerita Tiga
Anak-anak berseragam celana biru kemeja putih itu berkelompok di tepi jalan. Ada yang duduk, sebagian sibuk dengan gawai, sebagian asik mengobrol. Lokasi mereka hang out sebuah warung tenda yang menyedian meja dan tempat duduk.
Tak lama kemudian, sekelompok anak-anak lainnya menghampiri dengan teriakan-teriakan kebencian dan ejekan yang tak pantas diucapkan anak-anak seusia mereka. Kedua lalu berseteru saling ejek sebelum terjadi bentrokan fisik.
Perkelahian tak terhindarkan. Kedua kelompok yang sebelumnya sudah saling ejek di media sosial kini bertemu langsung.Â
Perkelahian antar kelompok pelajar kerap terjadi yang sering menimbulkan korban luka hingga korban nyawa.
Kelompok anak-anak yang dalam pergaulan sosialnya telah memiliki masalah, bahkan masing masing anak sudah membawa masalah. Maka masalah mengerikan akhirnya muncul. Geng-geng bandit kecil bermunculan.
Tak ada ruang untuk aktifitas kreatif, tak ada ruang positif yang mereka temui. Tak ada pendampingan untuk anak-anak yang telah memiliki masalah. Pembiaran yang akhirnya menjelma menjadi monster jalanan.
Tiga Hal yang Harus Dilakukan
Tiga cerita di atas sebenarnya belum mewakili apa yang seluruhnya terjadi pada anak-anak di Indonesia. Masih banyak cerita yang lebih miris dan membuat kita tak habis pikir.Â
Di Blitar, banyak anak mengajukan pernikahan dini. Bila itu terjadi anak akan melahirkan anak.
Belum lagi kisah miris pekerja anak, prostitusi anak, penyalahgunaan zat adiktif pada anak dan problem anak lainnya. Seperti fenomena gunung es, masalah yang sebenarnya terjadi bisa jadi jauh lebih besar dan lebih menakutkan.