Mohon tunggu...
Muhamad Nour
Muhamad Nour Mohon Tunggu... Buruh - Love traveling

Paguntaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa Bulungan, Tidung, dan Dayak Menuju Kepunahan?

23 Februari 2020   11:15 Diperbarui: 23 Februari 2020   11:19 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ina Tuwo, pengrajin tikar pandan asal Salimbatu Kaltara | Foto: Abdul Rahim

Berapa banyak dari anda yang pernah dengar atau mengetahui 3 suku asli Propinsi Kalimantan Utara? Mungkin anda pernah dengar pulau Tidung kepulauan Seribu? RSUD Tarakan di Jakarta Pusat, atau kawasan Bulungan Blok M Jakarta? 

Pada masa lalu, penamaan tersebut bukan kebetulan, tapi ia memiliki benang merah penting dalam sejarah Indonesia. Suku Tidung, Bulungan, dan Dayak (beserta sub rumpun lainnya) adalah suku pribumi Kalimantan Utara yang terbagi pada berbagai banyak mendiami kawasan pesisir, sungai, dan hulu sungai.    

Dalam banyak hal, ketiga suku pribumi ini telah banyak kehilangan amalan dan tradisi nenek moyang, sebagai contoh, budaya Tidung mengayam tikar pandan sudah hampir punah dan kini hanya orang-orang tua diatas 60 tahun yang melakukannya. Tradisi memanjangkan telinga dan seni Tato di kalangan suku Dayak kini tak lagi diamalkan, kini hanya para orang tua diatas 80 tahun yang meninggalkan jejak telinga panjang dan Tato nya. 

Mereka kini seperti benda pusaka, di foto, diajak ke pameran, menjadi ikon pariwisata budaya. Alat tangkap ikan tradisional Tidung "betenang" kini sudah punah, begitupun alat tangkap kepiting "ambaw" khususnya yang terbuat dari rotan juga ini langka. Alat tangkap tradisional ini kalah dengan peralatan tangkap ikan modern yang diperkenalkan oleh pendatang dari luar.

Perubahan orientasi nilai hidup, pembuatan seperangkat aturan diskriminatif, membuat banyak orang Dayak meninggalkan budaya Tato. Misal, di Indonesia, tato dianggap tabu karena memiliki stigma negatif, akan sulit dapat kerja khususnya di sektor formal. Punya telinga panjang tidak mungkin lagi diamalkan. 

Di kalangan masyarakat Tidung, tradisi menganyam tikar dari daun pandan atau Belungis, Bahasa Tidung nya, kini sudah sangat langka. Di kampung ayah saya, di desa Salimbatu, hanya ada beberapa orang tua terutama perempuan renta diatas 80 tahun yang masih melakukan pekerjaan menganyam tikar ini. 

Beberapa hal yang menyebabkan terkikisnya tradisi ini adalah bahan baku langka, tak ada anak muda yang berminat belajar, bukan dianggap pekerjaan, banyak tikar sintetis dijual lebih murah dan bermotif menarik. 

Begitupun hal yang sama terjadi pada seni budaya Jepen orang Bulungan dan Tidung, tidak banyak lagi generasi muda yang menekuni alat musik utama Jepen, khususnya Gambus. Tradisi Tidung yang punah adalah "Besitan" tradisi pengobatan tradisional mirip dengan "Belian atau Bobolian".    

Akankah Bahasa lokal juga ikut punah?

Badan PBB untuk urusan pendidikan, pengetahuan dan budaya, UNESCO pada tahun 2009 mencatat sekitar 2.500 bahasa di dunia termasuk lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. 

Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengidentifikasi total ada 652 bahasa yang telah divalidasi dari 2.452 daerah pengamatan di wilayah Indonesia dan sebanyak 11 bahasa daerah terutama dari Maluku, Maluku Utara dan Papua dinyatakan punah.

Ada potensi punahnya Bahasa asli di Kalimantan Utara karena minim usaha pelestarian dari pemerintah, kawin campur, ibu dan bapaknya tidak mengajarkan lagi bahasa daerah, generasi muda tidak lagi menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari dan penutur asli hanya sisa orang tua. 

Relatif penggunaan Bahasa daerah yang kental hanya di wilayah pedalaman, oleh karena itu, agar tak bernasib sama dengan tradisi telinga panjang, seni tato, tradisi menganyam, pemerintah perlu membuat regulasi perlindungan bahasa dan sastra daerah. Di Indonesia, Propinsi Sumatera Utara telah menginisiasi peraturan daerah yang mengatur tentang pelindungan bahasa daerah dan sastra Indonesia. 

Sementara itu, kelompok pegiat sastra di Banyuwangi sudah menerbitkan 18 buku yang berbahasa daerah Using yang ditulis oleh penulis-penulis asal Banyuwangi, diantaranya novel atau cerpen dalam berbahasa daerah Using atau artikel yang berkaitan dengan Banyuwangi. Ini adalah sebagai usaha masyarakat sipil untuk melestarikan bahasa Using termasuk pelatihan menyusun kamus Bahasa daerah.

Pemerintah perlu membuat instrumen kebijakan yang mendorong dan mendukung masyarakat sipil untuk program literasi, pembuatan kamus bahasa daerah, dokumentasi sejarah, pentas seni dan identifikasi kerentanan Bahasa. 

Dengan instrumen ini Pemerintah Kaltara dan kabupaten/kota selanjutnya penting untuk melakukan konservasi (perlindungan) bahasa, seni budaya, sejarah, dengan program dokumentasi, literasi, dan revitalisasi program muatan lokal di sekolah, untuk menjaga ciri khas budaya propinsi Kalimantan Utara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun