Mohon tunggu...
Riqko Nur Ardi Windayanto
Riqko Nur Ardi Windayanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nasib, Pendekatan Biokultural, dan Pemertahanan Bahasa Indonesia

28 Oktober 2021   15:30 Diperbarui: 28 Oktober 2021   15:34 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa Indonesia di Ruang Publik (Sumber: https://www.flickr.com/)

Masyarakat Indonesia yang berbineka mengimplikasikan bahasa yang beraneka dan kompleks. Dalam hal itu, pendekatan biokultural menawarkan wacana bahwa bahasa-bahasa ibu di Indonesia begitu beraneka, kompleks, dan plurilinguistis (plural) sehingga dapat menjadi sumber pemerkaya bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa ibu, atau disebut bahasa-bahasa daerah, merepresentasikan keberagaman estetika, intelektual, budaya, dan nilai keilmuan berbagai kelompok masyarakat Indonesia (Maffi, 2000; Crystal, 2000; Nickel, 1995; Blake, 2002).

Pendekatan biokultural menekankan agar negara membuka ruang akademik dengan memfasilitasi riset-riset kebahasaan sebagai bentuk praksis dari pendekatan ini. Riset-riset tersebut perlu dilakukan dengan mengeksplorasi dan menelusuri kelompok-kelompok budaya di masyarakat yang terikat menurut suku, agama, budaya, mata pencaharian, dan berbagai domain-domain sosial budaya. Lapian (2007) pernah melakukan riset pada masyarakat maritim. 

Risetnya memperlihatkan betapa nelayan sangat kaya dengan berbagai kosakata tentang angin. Para nelayan memiliki istilah-istilah untuk menyebut jenis-jenis angin, baik ditinjau dari arah datang, ciri pergerakan, intensitas, waktu kedatangan, arah tujuan, dan dampaknya terhadap kegiatan melaut. Kosakata ini tentu berbeda dengan masyarakat di lingkungan urban yang barangkali hanya mengenal beberapa istilah jenis angin, seperti angin putting beliung, angin topan, dan angin kencang. Dengan demikian, istilah-istilah kebahasaan dari masyarakat lokal bisa diserap dan ditelusuri untuk diinternalisasikan sebagai kekayaan bagi bahasa Indonesia.

Contoh dari Lapian hanyalah contoh tunggal pada nelayan. Suhandano (2004), dalam disertasinya, memaparbentangkan bahwa petani di Yogyakarta memliki banyak kosakata untuk menyebut jenis-jenis tanaman dalam bahasa Jawa. Bahkan, tanaman-tanaman itu banyak yang belum memiki penyebutan dalam bahasa Indonesia. 

Dengan demikian, kata-kata dari bahasa Jawa tersebut dapat ditelusuri untuk diolah ke dalam bahasa Indonesia. Dua contoh itu memperlihatkan bahwa pengembangan bahasa Indonesia yang berpijak pada kekayaan bahasa-bahasa daerah semestinya menjadi konsep teoretis-filosofis dalam pengambilan kebijakan bahasa. Alih-alih memperkaya kata serapan dari bahasa asing, negara harus mempromosikan dan memanfaatkan keanekaragaman biokultural sebagai gudang pengetahuan dan keunikan budaya dari berbagai kelompok masyarakat di Indonesia (Spolsky, 2012).

Dalam pemertahanan bahasa Indonesia, sejarah yang perlu diingat adalah bahasa ini lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap bahasa-bahasa kolonial—terutama bahasa Belanda. Bahasa itu merupakan pembentuk spirit nasionalis-pragmatis  untuk membangun nasionalisme (Sumarsono, 2002). Dengan demikian, untuk menata ideologi nasionalis tersebut, pemertahanan bahasa bukanlah berakar pada bahasa-bahasa asing, melainkan kembali pada “rumah” kita sendiri, yaitu bahasa-bahasa lokal.

 Hal itu tidak hanya memungkinkan bahasa Indonesia tetap bertahan, tetapi sekaligus membentuk masyarakat yang mampu mengembangkan bahasa dan memompa gairah untuk tetap setia menggunakan bahasa Indonesia. Kesetiaan itulah yang pada gilirannya akan membentuk kebanggaan berbahasa dan terus berupaya mengelola atau merencanakan pengembangan bahasa ke depannya.

Merawat Nasib Bahasa, Meruwat Keutuhan Bangsa

Tulisan ini telah menegosiasikan wacana alternatif mengenai pemertahanan bahasa Indonesia dengan menimbang konteks internal dan eksternal yang mendeterminasikan nasib kebahasaan kita. Kendati masalah itu terus ada, pemertahanan bahasa Indonesia adalah suatu keniscayaan dan konsekuensi budaya yang tak tersangkalkan. Apakah pendekatan biokultural bisa menjamin nasib baik bahasa di hari-hari depan berikutnya? Pertanyaan itu adalah teka-teki yang mesti dipecahkan oleh negara dan pemerhati bahasa. Namun, pada intinya, ia bisa menjadi ikhtiar kultural kita untuk merawat nasib bahasa dalam rangka meruwat keutuhan bangsa.

Tulisan ini merupakan juara kedua dalam Politic Cup 2021, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya. Judul semula tulisan ini ialah "Merawat Nasib Bahasa, Meruwat Keutuhan Bangsa: Pendekatan Biokultural sebagai Kajian Awal dalam Pemertahanan Bahasa Indonesia". Diunggah dengan sedikit revisi teknis. 

Anderson, B. R. O. (2000). Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun