oleh Norbertus seremingÂ
Mentawai -- Di tengah arus modernisasi yang semakin deras, masyarakat Sakuddei di Dusun Tepuk, Siberut Barat Daya, Mentawai, tetap setia menjaga tradisi leluhur dalam mengelola alam. Sistem ladang , beternak babi dan ayam, hingga pemanfaatan tanaman obat tradisional masih menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.
Ladang yang Menjadi Nadi Kehidupan
Masyarakat Sakuddei mengandalkan sistem umbaran, yakni membuka ladang sagu, pisang, keladi, ladang dengan cara tradisional. Bagi mereka, ladang bukan sekadar sumber pangan, tetapi juga simbol hubungan manusia dengan alam.
"Ladang adalah hidup kami. Dari sinilah kami makan, merawat keluarga, dan menghormati roh leluhur," ungkap seorang tokoh Sakuddei.
Ternak Sebagai Simbol Sosial dan Ritual
Selain bercocok tanam, masyarakat Sakuddei juga memelihara babi, ayam, serta hewan lain. Hewan ternak tidak hanya digunakan sebagai sumber protein, tetapi juga memiliki nilai sosial dan budaya. Babi, misalnya, kerap menjadi bagian penting dalam ritual adat, pesta keluarga, maupun upacara keagamaan.
"Bagi kami, ternak bukan hanya soal makanan. Itu bagian dari ikatan sosial dan penghormatan," jelas seorang warga.
Kearifan dalam Pengobatan Tradisional
Masyarakat Sakuddei juga dikenal kaya akan pengetahuan tentang tanaman obat. Hampir setiap daun, akar, atau kulit kayu di hutan memiliki fungsi penyembuhan, dari obat luka hingga ramuan untuk stamina. Pengetahuan ini diwariskan turun-temurun, dan menjadi bukti kearifan lokal yang sejalan dengan prinsip menjaga keseimbangan alam.
Harapan untuk Masa Depan
Meski masih memegang teguh tradisi, masyarakat Sakuddei kini juga menghadapi tantangan besar: akses kesehatan, pendidikan, dan pembangunan yang belum merata. Namun, di tengah tantangan itu, kearifan tradisional dalam bertani, beternak, dan menjaga hutan justru bisa menjadi inspirasi untuk pembangunan berkelanjutan.