Potret Ibu Tunggal di Garis Depan Keberlanjutan
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar tinggi, seorang ibu tunggal sudah bergegas. Satu tangan menyiapkan bekal anak untuk sekolah, tangan lain merapikan berkas rapat. Ia tahu, begitu melangkah ke kantor, perannya berubah: dari seorang ibu menjadi seorang profesional yang bertanggung jawab atas agenda besar Perusahaan mendorong keberlanjutan, efisiensi energi, dan pengurangan emisi.
Potret ini sama persis dengan berbagai gambaran ibu tunggal di seluruh dunia. Salah satu film Drakor 2008 'Working Mom', yang tayang di SBS, dan disutradarai Oh Jong-rok merupkan drakor yang cukup mewakili situasi ini. Yum Jungah, aktris pemeran Choi Gayoung, seorang wanita karir yang tiba-tiba menjadi ibu, lalu berjuang mengurus keluarga sambil kembali terjun ke dunia kerja. Ada beberapa kalimat dialog yang membuat kita berempati, seperti saat dia harus berjuang dengan target kerja yang berat, tapi pikirannya tertuju pada anak di rumah dan tentu kepedihan yang harus ditanggung. "Tak ada yang mudah. Tapi kalau aku menyerah, siapa yang akan menafkahi anakku?" "Aku bekerja keras bukan untuk diriku sendiri. Semua ini untuk masa depannya." Tak hanya Working Mom, drakor 'Love & Secret' 2014-2015 juga sama, menceritakan seorang designer yang juga harus menjadi ibu tunggal.
Secara global, jumlah ibu tunggal sangat besar. Data Gallup (2020) mencatat sekitar 13% perempuan usia 18-60 tahun di seluruh dunia adalah ibu tunggal dengan anak di bawah 15 tahun, angka yang lebih tinggi di Sub-Sahara Afrika (32%) dan Amerika Latin (30%). Sementara itu, UN Women memperkirakan ada sekitar 202 juta ibu tunggal di dunia, baik yang tinggal sendiri dengan anak maupun dalam rumah tangga besar. Dari sisi ekonomi, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa 71% ibu tunggal dengan anak kecil ikut dalam angkatan kerja, artinya mayoritas mereka harus bekerja demi menopang kehidupan keluarga. Angka-angka ini menegaskan bahwa fenomena ibu tunggal pekerja bukan hal kecil, melainkan realitas global yang penting untuk didukung dengan kebijakan ramah keluarga dan keberlanjutan sosial.
Di Indonesia, sosok seperti ini bukan pengecualian. Data Badan Pusat Statistik 2023 menunjukkan hampir 1 dari 8 rumah tangga atau 12,73% rumah tangga dipimpin oleh perempuan, yang berarti jutaan ibu tunggal memikul beban ganda: menjaga keluarga dan mencari nafkah. Banyak di antara mereka bekerja di sektor swasta, di mana jam kerja panjang dan target tinggi menjadi keseharian.
Dua Dunia yang Selalu Beririsan
Dunia kerja termasuk sektor swasta menuntut ketahanan tinggi. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia pada 2024 berada di kisaran 52-53%, jauh di bawah laki-laki 81%, menandakan masih lebarnya jurang kesempatan ekonomi berbasis gender. Ketimpangan ini terasa kian nyata bagi ibu tunggal yang menanggung peran pengasuh utama dan pencari nafkah (Data Bank Dunia, 2025).
Di titik inilah kesenjangan itu terlihat paling tajam. Bagi seorang ibu tunggal yang bekerja di sektor keberlanjutan, dunia profesional bukan sekadar ruang mencari nafkah. Di satu sisi, ada keterbatasan akses, jam kerja panjang, dan dukungan yang minim. Di sisi lain, beban ganda justru memberi makna tambahan pada profesi yang dijalani. Setiap usaha menjaga lingkungan bukan hanya pencapaian perusahaan. Bagi ibu tunggal, itu adalah refleksi perjuangan pribadi: bahwa semua jerih payah pada akhirnya adalah investasi bagi masa depan anak yang mereka rawat seorang diri.
Realitas ini mudah dikenali banyak orang: seorang ibu yang selepas rapat penting masih harus bergegas menjemput anak, atau yang di tengah tekanan target kerja tetap memikirkan biaya sekolah bulan depan. Bagi ibu tunggal, dilema semacam itu adalah rutinitas, bukan pengecualian. Namun justru di sinilah letak relevansinya dengan isu keberlanjutan. Seperti halnya bumi yang harus tetap dijaga meski sarat tantangan, ibu tunggal pun terus bertahan meski dibebani keterbatasan. Keduanya sama-sama mengajarkan bahwa ketekunan dan daya tahan adalah kunci, karena masa depan anak dan generasi mendatang tak bisa menunggu.
Karena itu, bekerja di bidang keberlanjutan menuntut lebih dari sekadar keterampilan teknis. Setiap angka emisi yang berhasil diturunkan, setiap sertifikasi hijau yang diraih, lahir dari rapat panjang, koordinasi lintas departemen, hingga negosiasi dengan pemasok. Namun bagi ibu tunggal, capaian-capaian itu bukan sekadar target. Keberlanjutan adalah wujud nyata cinta: bukan hanya tentang bumi, tetapi juga tentang memastikan anak mereka tumbuh di masa depan yang lebih aman dan layak.
Tantangan di Sektor Swasta
Perusahaan swasta di Indonesia masih belum sepenuhnya ramah terhadap pekerja perempuan, apalagi ibu tunggal. Fleksibilitas kerja kerap hanya jargon, padahal peran ganda menuntut ruang untuk mengatur ritme antara kantor dan rumah. Di sisi lain, akses terhadap layanan pengasuhan anak masih terbatas dan mahal. Akibatnya, banyak ibu terpaksa keluar dari pasar kerja atau terjebak dalam pekerjaan informal dengan pendapatan rendah.
Bagi ibu tunggal, kenyataan ini berarti harus ekstra tangguh. Ada malam ketika anak demam sementara laporan harus rampung sebelum tengah malam. Ada pagi ketika rapat penting berbenturan dengan acara sekolah. Situasi semacam itu sering melahirkan rasa bersalah ganda: khawatir dianggap gagal sebagai pekerja, sekaligus takut mengecewakan sebagai ibu.
Padahal, menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), layanan pengasuhan anak bukanlah beban, melainkan investasi penting. Ketersediaan childcare dan kebijakan cuti yang memadai terbukti langsung meningkatkan partisipasi kerja perempuan serta produktivitas ekonomi. Pemerintah Indonesia bersama ILO dalam dua tahun terakhir bahkan mendorong agenda care economy sebagai fondasi pembangunan SDM yang lebih setara. Namun tanpa implementasi nyata di sektor swasta, kebijakan itu hanya akan menjadi wacana.