Laporan riset Market.us menunjukkan bahwa EV menghasilkan 16,3 ton CO sepanjang 200.000 km penggunaan, jauh lebih rendah dibanding kendaraan konvensional yang bisa menyentuh 49 ton CO. Tapi life cycle emission kendaraan listrik tetap menuntut tata kelola yang menyeluruh, termasuk produksi baterai dan sumber energi listriknya.
Ekosistem EV: Jangan Berhenti di Hilir
Data Kemenhub hingga akhir 2024 mencatat 195.084 unit kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB) beroperasi di Indonesia. Angka ini mayoritas didominasi oleh roda dua, mencerminkan kebutuhan mobilitas harian masyarakat. Pemerintah juga menargetkan kapasitas produksi EV hingga 600.000 unit pada 2030 dengan proyeksi penurunan emisi tahunan sebesar 160.000 ton CO.
Ini artinya, pemerintah harus serius juga dalam pengembangan rantai pasok (supply chain) yang konsisten dan diakselerasi terhadap tumbuhnya potens bijih nikel sebagai nikel dan kobalt sulfat sebagai material utama dalam kendaraan berbasis EV, dengan target kapasitas produksi kendaraan listrik sebesar 600 ribu pada tahun 2030. Sehingga dengan upaya ini akan mampu mengurangi emisi hingga 160 ribu ton CO per tahun dan mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) hingga 45 juta liter per tahun.
Ekosistem EV yang berkelanjutan inilah yang menjadi catatan penting jika bicara soal 'sustainability' dalam penggunaan EV. Apalagi ditambah terus meningkatnya penjualan kendaraan listrik murni (battery electric vehicle/BEV) di kawasan Asia Tenggara pada 2025 mencapai 650.000 unit, Indonesia sebanyak 43.194 unit pada 2024, dengan 30 pemain mobil listrik di Indonesia, dan 42 pemain di ekosistem motor listrik.
Langkah Nyata Diperlukan
Sejumlah langkah konkret yang penting untuk diakselerasi adalah;
1. Integrasikan EV dalam strategi transisi energi dan ketahanan nasional.
2. Menyusun roadmap komprehensif yang mencakup potensi pasar, teknologi EV (baterai, PHEV, hidrogen), insentif fiskal, deployment strategy, dan kebijakan phase-out kendaraan konvensional.
3. Mendorong riset EV lokal, khususnya roda dua dan tiga serta angkutan ringan untuk masyarakat berkebutuhan khusus dengan prinsip sosial inklusif.
4. Berikan insentif finansial untuk produksi massal EV domestik. Memberikan stimulus menarik untuk konsumen agar beralih ke kendaraan listrik.
5. Sinergi kebijakan tarif listrik dengan pengembangan sistem vehicle-to-grid.
6. Edukasi publik soal manfaat jangka panjang EV bagi lingkungan dan tentu saja dompet masyarakat.
Menutup Emisi, Bukan Sekadar Memindahkannya
Indonesia tengah mengakselerasi perjalanannya menuju Net Zero Emission (NZE) 2060. Di antara banyak strategi yang ditempuh, kendaraan listrik (electric vehicle/EV)Â digadang-gadang sebagai simbol perubahan. Tapi pertanyaannya: apakah kendaraan listrik benar-benar menghapus emisi, atau hanya memindahkannya?
EV memang bebas asap di jalanan. Namun, listrik yang menggerakkannya masih berasal dari pembangkit batubara. Baterainya terbuat dari nikel, kobalt, dan lithium-logam yang ditambang dengan jejak sosial dan ekologis yang tak kecil. Bila kita tidak hati-hati, transisi ini justru akan menciptakan krisis baru: dari polusi kota ke degradasi alam pedalaman.
Padahal pemerintah menargetkan penurunan emisi hingga 525 juta ton COe pada 2035 dalam dokumen NDC 3.0. Kendaraan listrik berperan penting, tapi tidak akan cukup bila ekosistem energi kita tetap bergantung pada batu bara.
Net Zero Emisi bukan hanya angka dalam konferensi. Ia adalah pilihan politik dan keberpihakan moral. Bukan hanya pada teknologi, tetapi pada lingkungan yang lebih bersih, masyarakat tambang yang lebih adil, dan generasi masa depan yang berhak atas udara yang layak.